Catatan Buruh Sepanjang Tahun 2020 : Permasalahan Terkait Upah Belum Selesai

- 28 Desember 2020, 22:17 WIB
Buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasiona (SPN) berunjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja dan menuntut kenaikan upah tahun 2021 di Serang, Banten, Rabu (18/11/2020). Sebelumnya, Gubernur Banten telah menetapkan Upah Minimum Provinsi tahun 2021 sama dengan tahun 2020 sebesar Rp2,46 juta sedang pihak buruh menuntut kenaikan paling sedikit delapan persen.
Buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasiona (SPN) berunjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja dan menuntut kenaikan upah tahun 2021 di Serang, Banten, Rabu (18/11/2020). Sebelumnya, Gubernur Banten telah menetapkan Upah Minimum Provinsi tahun 2021 sama dengan tahun 2020 sebesar Rp2,46 juta sedang pihak buruh menuntut kenaikan paling sedikit delapan persen. /Asep Fathulrahman/ANTARA FOTO



PRFMNEWS - Sejumlah catatan kritis dipatri kaum buruh sebelum menutup tahun 2020. Satu catatan paling krusial, yakni terkait permasalah upah bagi buruh yang belum selesai hingga penghujung tahun 2020.

Seperti apa situasinya di wilayah Jawa Barat? Apa saja evaluasi yang digalakan kaum buruh terhadap para pemimpin, baik di level daerah hingga pusat? Berikut ini rangkuman perbincangan Redaksi PRFM bersama Ketua Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Jawa Barat, Roy Jinto.

Penetapan UMP

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2021 tetap sama dengan upah yang berjalan tahun 2020, yakni Rp 1.810.351,36.

Setelah itu, Ridwan Kamil menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) melalui SK No 561/Kep.983-Yanbangsos/2019. Keputusan Gubernur Jawa Barat ini mengugurkan Surat Edaran yang sebelumnya menjadi dasar hukum UMK 2020.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengacu pada tiga dasar pertimbangan yang menjadi alasan penetapan UMP Jawa Barat 2021. Di antaranya, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang penetapan upah minimum tahun 2021 pada masa pandemi Covid-19 tanggal 26 Oktober 2020 yang merekomendasikan upah minimum besarannya sama dengan tahun ini, tidak naik.

Baca Juga: Wisma Atlet Kini Masih Rawat 3.285 Pasien Covid-19

Baca Juga: Spoiler Manga One Piece Chapter 1000 : Aliansi Supernova Tarung Melawan Kaido dan Big Mom

Roy Jinto menyatakan, keputusan ini tentu menimbulkan reaksi kaum buruh. Reaksi berupa protes kaum buruh sudah terjadi ketika Gubernur Jawa Barat menetapkan UMP maupun UMK melalui Surat Edaran (SE), bukan Surat Ketetapan (SK).

"Kemudian penetapan itu diubah menjadi Surat Ketetapan dan masih ada juga persoalan. Bahkan kini masih berproses di pengadilan tinggi," kata Roy saat On Air di Radio PRFM 107.5 News Channel, Senin 28 Desember 2020.

 

Lebih lanjut, penetapan nominal UMP maupun UMK di Jawa Barat mendapatkan respon negatif dari kaum buruh. Hal ini dikarenakan ada sejumlah daerah kota/kabupaten di Jawa Barat yang tidak mengalami kenaikan UMK.

Menurut Roy, respon negatif terkait nominal UMP maupun UMK yang ditetapkan oleh Pemerintah Jawa Barat, masih berlangsung hingga saat ini.

Gelombang PHK di Tengah Pandemi

Gara-gara pandemi Covid-19, ribuan buruh di Jawa Barat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Keputusan untuk melakukan PHK diambil dengan berbagai pertimbangan, mulai dari berkurangnya permintaan (demand) dari pasar gara-gara pandemi, hingga alasan perampingan jumlah karyawan dengan alasan efektivitas kerja.

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Barat melakukan pendataan dampak Covid-19 terhadap produktivitas perusahaan atau industri di Jawa Barat.

Baca Juga: 10 Kelurahan dengan Kasus Positif Corona Tertinggi di Kota Bandung, Campaka Posisi Satu

Baca Juga: Minggu Dini Hari, Dani Dikeroyok 3 Orang Tak Dikenal di Jalan Ibrahim Adjie Kota Bandung

Pendataan yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Barat sejak 5 April sampai 5 Mei 2020 menunjukan, 86.256 buruh kena PHK gara-gara pandemi. Puluhan ribu buruh itu berasal dari 1.737 perusahaan.

"Gelombang PHK karyawan diakibatkan pandemi Covid-19. Alasanya pasti pandemi," ketus Roy Jinto.

Dari data April sampai Mei saja 86 ribu lebih buruh di Jawa Barat tercatat menjadi korban PHK oleh perusahaan. Hingga akhir 2020, lebih dari 100 ribu buruh diprediksi menjadi korban gelombang PHK gara-gara pandemi.


Omnibus Law

Pada tahun 2020, Pemerintah Indonesia resmi menetapkan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja. Penetapan Undang-undang yang dianggap kontoversial ini kemudian mengundang terjadinya aksi penolakan besar-besar dari kaum buruh seluruh Indonesia.

Aksi penolakan buruh terhadap Omnibus Law bukan tanpa sebab. Dari analisis yang dilakukan Serikat Pekerja Indonesia, sedikitnya terdapat lima bahaya Omnibus Law bagi kaum buruh.

Pertama, pemotongan pesangon dari 32 kali gaji akan menjadi 25 kali gaji. Dengan penghapusan batas mengontrak karyawan, tidak sedikit buruh terancam tidak mendapat pesangon jika dipecat.

Kedua, upah minimum sektoral atau UMK dikhawatirkan dihapus. Dengan demikian dalam pengupahan buruh ke depan, SPSI menduga hanya UMP yang digunakan oleh pemerintah daerah sebagai acuan.

Baca Juga: Percaya Komnas HAM, Pemerintah Tidak Bentuk Tim Pencari Fakta Kasus Tewasnya Laskar FPI

Baca Juga: Seorang Pria Lansia Ditemukan Tak Sadarkan Diri, Mengaku Bernama Maman Namun Lupa Alamat Rumah

Ketiga, Omnibus Law memungkinkan pembayaran upah satuan waktu yang bisa menjadi dasar pembayaran upah per jam bagi buruh.

Keempat, Omnibus Law tak lagi mewajibkan perusahaan memberi cuti selama dua bulan pada karyawan yang sudah bekerja selama enam tahun.

kelima, penghapusan batasan mempekerjakan tenaga (outsourcing. Pada Omnibus Law, penggunaan tenaga outsourcing hanya dibolehkan pada pekerjaan yang tak bersentuhan langsung dengan kegiatan produksi.

"Omnibus Law menjadi kontroversi, dan ditolak buruh hingga detik ini. Proses hukum juga masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi," tukas Roy Jinto.***

Editor: Indra Kurniawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x