Satgas Pemulihan Ekonomi Jabar : Panic Buying Indikasi Modal Sosial Gotong Royong Meredup

27 Desember 2020, 19:18 WIB
PANIC buying yang dilakukan warga Kota Sukabumi.* /Ahmad Rayadie/

PRFMNEWS - Fenomena Panic Buying (Belanja panik) sudah melanda Indonesia manakala kasus pertama positif virus corina (Covid-19) diumumkan di Indonesia pada Maret 2020 silam.

Fenomena yang tidak lazim bernama Panic Buying berpotensi besar mengganggu mekanisme perdagangan.

Panic Buying terbukti berpotensi menganggu mekanisme perdangan ketikan masyarakat berbondong-bondong mengunjungi supermarket maupun pasar.

Semua barang yang dibutuhkan dibeli tanpa takaran. Tak peduli ketersediaan barang menipis ataupun orang lain yang membutuhkan tak bisa mendapatkan.

Saat itu yang terpenting, kebutuhan pribadi terpenuhi selama satu pekan atau bahkan satu bulan.

Baca Juga: Oded Santuni Korban Tertimpa Pohon di Cisangkuy

Wakil Ketua Divisi Komunikasi dan Gerakan Satuan Tugas (Satgas) Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jawa Barat (Jabar) Aat Soeratin, mengungkapkan, Panic Buying mengindikasikan hilangnya budaya gotong royong atau tolong-menolong.

"Kita itu hidup bersaudara. Tetangga kita urusan kita juga. Tapi, begitu ada kejadian mau di-lockdown, ada Panic buying. Panic Buying itu indikasi kalau kita sudah tidak percaya sama teman. Saya harus menyelamatkan saya. Tidak percaya teman akan menolong kita," kata Aat.

Pandemi Covid-19 tidak bisa dipungkiri telah memukul telak perekonomian masyarakat.

Baca Juga: Krishna Murti Terkonfirmasi Covid-19, Sudah Dirawat Selama 16 Hari

Saat penawaran (supply) dan permintaan (demand) berhenti sekaligus, daya beli masyarakat merosot tajam. Belum lagi, banyak perusahaan melakukan PHK atau merumahkan karyawan.

Lesunya kegiatan ekonomi berdampak pada pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah UMKM. Banyak pelaku UMKM menghentikan produksi. Padahal, UMKM menjadi salah satu sektor krusial dalam perekonomian Jabar.

Deretan persoalan ekonomi karena pandemi, kata Aat, dapat diselesaikan secara perlahan dan terencana apabila masyarakat bergerak bersama-sama, saling memperhatikan satu sama lain, dan tolong-menolong.

 

"Kita semua tahu, pandemi tidak akan bisa kita lewati kalau tidak bersama-sama. Covid-19 adalah musuh yang tidak kelihatan dan memiliki daya mati yang tinggi," ucapnya.

Aat menyatakan, tolong-menolong atau Silih Tulungan merupakan modal sosial yang sudah dimiliki masyarakat Indonesia, khususnya Jabar. Tapi, saat ini, modal sosial itu meredup. Belanja panik bisa menjadi salah satu indikasi.

Baca Juga: Mudah dan Bisa Lewat HP, Begini Cara Cek Data Penerima Bansos dari Kemensos

Berangkat dari situasi tersebut, Divisi Komunikasi dan Gerakan Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jabar menggagas gerakan 'Silih Tulungan'.

Silih Tulungan merupakan gerakan sosial masyarakat, bukan mobilitas sosial. Nantinya, Silih Tulungan akan diejawantahkan menjadi program aksi dan literasi digital Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jabar.

"Di perdesaan, gerakan ini sudah ada dan tetap hidup. Ada ibu-ibu petani yang membagikan hasil panen kepada masyarakat saat pandemi," kata Aat.

"Maka, ini bukan bukan gerakan baru. Kami hanya ingin menggali, merevitalisasi, membangunkan karakter masyarakat Jabar yang mulai hilang, yaitu tolong-menolong atau gotong royong," imbuhnya.

Aat mengatakan, gerakan yang disarikan dari kredo masyarakat Jabar yakni, Silih Asih-Silih Asuh-Silih Asah tersebut diharapkan dapat menghadirkan gerak kohesi sosial setiap individu masyarakat untuk terlibat dalam pemulihan ekonomi daerah.

Baca Juga: CEK FAKTA : Jalan Gagak Kota Bandung Zona Hitam Covid-19?

"Silih Tulungan itu ketika mengatakan gini kepada teman. Jangan risau, kan ada saya. Jangan takut hidup karena ada saya. Fungsi-fungsi sosial ini kembali hidup di masyarakat," ucapnya.

Sementara itu, Ketua Harian Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jabar Ipong Witono mengatakan, modal sosial menjadi salah satu alat yang mempersatukan dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Setiap bangsa, kata Ipong, memperhitungakan modal sosial utuk bertahan dari pandemi. Selain itu, faktor budaya amat krusial dalam pemulihan ekonomi. Sebab, akan sulit permasalahan ekonomi jika dipecahkan dengan kacamata ekonomi saja.

"Siling Tulungan sederhana. Mulai memperhatikan kiri kanan kita, tetangga kita. Dan menyelesaikan masalah itu di wilayah terkecil. Dan semua orang bisa menjadi pelaku dalam pemulihan ini. Ini yang diajarkan oleh nenek moyang kita, sifat-sifat unggul bangsa ini yang tidak pernah kita asah," kata Ipong.***

Editor: Indra Kurniawan

Tags

Terkini

Terpopuler