Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perpustakaan dan profesi pustakawan juga harus menyesuaikan kebutuhan peradaban kekinian, agar eksistensinya tetap terjaga dan masih dapat memenuhi kebutuhan literasi masyarakat.
“Kalau dulu perpustakaan sebagai simbol eksklusif, orang-orang yang berilmu, bangsawan, para raja, kalau paradigma itu masih dipakai, maka tidak laku itu perpustakaan,” ujarnya.
Paradigma baru perpustakaan era kini menghendaki transfer of knowledge sebesar 70%. Dengan paradigma baru itu pula, maka definisi perpustakaan tidak hanya sebagai sebuah tempat untuk membaca buku, namun memiliki definisi yang lebih luas. Syarif membedah, dengan paradigma baru, setidaknya perpustakaan dapat didefinisikan sebagai berikut:
Pertama, rumah mahasiswa, pelajar, dan masyarakat yang melakukan inovasi untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Kedua, tempat para penulis, peneliti, penerbit, ilmuwan, agamawan, wartawan, budayawan dan politikus membedah buku untuk membangun peradaban bangsa.
Ketiga, tempat mengumpulkan, mengolah, mendayagunakan dan menyimpan produk budaya seperti karya tulis, karya cetak, karya rekam, buku digital hasil karya putra/putri bangsa.
Keempat, wadah untuk mengemban mandat UNESCO untuk mewujudkan fungsi yang berorientasi pada layanan nasional, warisan budaya, dan infrastruktur budaya.
Kelima, Institusi terpenting untuk menemukan solusi menghapuskan belenggu kebodohan dan kemiskinan.***