PRFMNEWS - Fenomena Panic Buying (Belanja panik) sudah melanda Indonesia manakala kasus pertama positif virus corina (Covid-19) diumumkan di Indonesia pada Maret 2020 silam.
Fenomena yang tidak lazim bernama Panic Buying berpotensi besar mengganggu mekanisme perdagangan.
Panic Buying terbukti berpotensi menganggu mekanisme perdangan ketikan masyarakat berbondong-bondong mengunjungi supermarket maupun pasar.
Semua barang yang dibutuhkan dibeli tanpa takaran. Tak peduli ketersediaan barang menipis ataupun orang lain yang membutuhkan tak bisa mendapatkan.
Saat itu yang terpenting, kebutuhan pribadi terpenuhi selama satu pekan atau bahkan satu bulan.
Baca Juga: Oded Santuni Korban Tertimpa Pohon di Cisangkuy
Wakil Ketua Divisi Komunikasi dan Gerakan Satuan Tugas (Satgas) Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jawa Barat (Jabar) Aat Soeratin, mengungkapkan, Panic Buying mengindikasikan hilangnya budaya gotong royong atau tolong-menolong.
"Kita itu hidup bersaudara. Tetangga kita urusan kita juga. Tapi, begitu ada kejadian mau di-lockdown, ada Panic buying. Panic Buying itu indikasi kalau kita sudah tidak percaya sama teman. Saya harus menyelamatkan saya. Tidak percaya teman akan menolong kita," kata Aat.
Pandemi Covid-19 tidak bisa dipungkiri telah memukul telak perekonomian masyarakat.