Jumlah Perokok di Indonesia Meningkat, Didominasi Usia Anak dan Remaja

- 31 Mei 2023, 09:00 WIB
Ilustrasi rokok.
Ilustrasi rokok. /PEXELS/Geri Pix

PRFMNEWS - Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia. Di Indonesia sekitar 71 persen perokok didominasi oleh kaum pria, hal tersebut berdasarkan penelitian dalam Visual Capitalist pada tahun 2022.

Tentu saja hal tersebut bukanlah hal yang membanggakan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI juga mengungkapkan jumlah perokok di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dalam kurun 2013 hingga 2019. Peningkatan jumlah perokok terutama terjadi pada usia anak dan remaja.

"Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup besar merupakan pasar potensial bagi industri rokok," kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI Maxi Rein Rondonuwu dalam konferensi pers Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2023, seperti dikutip PRFMNEWS dari ANTARA, 31 Mei 2023.

Baca Juga: Bandung Bebas Asap Rokok Makin Nyata, Pemkot Sebut 445 Lokasi Sudah Masuk Kategori KTR

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 prevalensi perokok pada usia 10 hingga 18 tahun berjumlah 7,2 persen, naik menjadi 9,1 persen pada 2018.

"Dalam kurun waktu lima tahun perokok usia anak dan remaja meningkat sekitar dua persen lebih. Kami tunggu hasil survei terbaru di 2023," katanya.

Jumlah itu sejalan dengan hasil survei dari Global Youth Tobacco pada 2019 bahwa peningkatan prevalensi perokok pada usia sekolah 13 sampai 15 tahun naik dari 18 persen jadi 19 persen.

Baca Juga: Negara dengan Persentase Perokok Terbesar di Dunia, Indonesia Masuk Urutan Berapa?

Kebiasaan merokok ada kaitan dengan pendidikan

Kebiasaan merokok dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012, remaja dengan pendidikan kurang dari sekolah dasar memiliki prevalensi merokok yang lebih besar (71,4 persen) dibandingkan mereka yang menyelesaikan pendidikan menengah atau lebih tinggi (53,8 persen).

Selain itu, berdasarkan studi yang diterbitkan dalam jurnal Preventing Chronic Disease pada tahun 2019, orang dengan status sosial ekonomi yang rendah cenderung memiliki prevalensi merokok yang tinggi. Status sosial, ekonomi, dan tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan kemampuan kognitif dan pengambilan keputusan yang buruk.

Kebiasaan merokok tidak terjadi secara instan, melainkan terbentuk melalui empat tahap, yaitu:

1. Tahap preparation: Melihat merokok sebagai aktivitas yang menyenangkan, berdasarkan apa yang dilihat dari lingkungan sekitar, iklan, dan media sosial.

2. Tahap initiation: Tahap di mana seseorang mulai mencoba merokok. Mereka merokok sebagai bentuk solidaritas dengan teman, ingin terlihat jantan dan gaul, atau ingin dianggap dewasa.

3. Tahap becoming a smoker: Mulai rutin merokok, minimal empat batang per hari. Butuh waktu setidaknya dua tahun untuk menjadi perokok berat.

4. Tahap maintenance of smoking: Merokok sudah menjadi bagian dari keseharian karena dianggap bisa menghasilkan emosi yang positif serta mengurangi rasa tegang dan cemas.

Baca Juga: Logo IKN yang Terpilih Bernama 'Pohon Hayat'

Perlu kerja sama berbagai pihak untuk mengatasi adiksi merokok pada remaja

Berhenti merokok lebih mudah untuk dibicarakan daripada dilakukan. Ini karena nikotin, zat adiktif yang memicu pelepasan bahan kimia di dalam otak yang membuat kita merasa nyaman.

Setidaknya, ada tiga pihak yang bisa membantu remaja mengatasi adiksi merokok, yaitu orang tua, guru, dan tenaga kesehatan.

Bahaya merokok untuk kesehatan yang harus diwasadai

Pada 2020 The Tobacco Atlas menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga jumlah perokok terbesar di dunia setelah China dan India.

Maxi menyebutkan, lebih dari 27 juta perokok tembakau dewasa di Indonesia berisiko terkena penyakit menular dan tidak menular.

Baca Juga: Tarif Tol Cipularang dan Padaleunyi Naik, Jakarta-Bandung Jadi Lebih Mahal, Butuh Saldo E-Toll Berapa?

Seperti diketahui, Institute for Health Metrix and Evaluation pada 2019 melaporkan rokok tembakau berisiko meningkatkan risiko kanker trakea, bronkus, dan paru-paru sebesar 59,6 persen, 59 persen mengakibatkan penyakit paru obstruksi kronik, 28 persen memicu gangguan jantung, dan 19 persen mengakibatkan diabetes melitus.

Selain dampak negatif pada kesehatan konsumen, kata Maxi, rokok tembakau juga memiliki dampak pada sosial dan ekonomi.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2021 melaporkan pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk belanja protein.

"Belanja rokok terbesar kedua pengeluaran rumah tangga atau tiga kali lebih tinggi dari beli telur, daging ayam, dan lainnya," kata Maxi.

Baca Juga: 5 Perguruan Tinggi di Jabar Dicabut Izin Operasionalnya, Ada yang Jual Beli Ijazah

Belanja rokok menempati porsi pengeluaran terbesar kedua di rumah tangga miskin sebesar 11,9 persen, baik di rumah tangga perkotaan maupun pedesaan.

Hari Tanpa Tembakau Sedunia diperingati setiap 31 Mei. Tema kegiatan global pada tahun ini "We Need Food, Not Tobacco", sedangkan tema nasional "Kami Butuh Makanan, Bukan Rokok".

Tujuan dari peringatan kegiatan itu adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk meningkatkan makanan bergizi daripada konsumsi rokok dan sekaligus sebagai momentum petani tembakau beralih ke budidaya tanaman lainnya yang punya nilai gizi dan daya jual tinggi. ***

Editor: Rifki Abdul Fahmi

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x