Temui Sabil, Dedi Mulyadi: Dulu Kata ‘Maneh’ Adalah Panggilan Sayang Sampai Dikenal Jadi Judul Lagu

- 20 Maret 2023, 18:30 WIB
Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menemui mantan guru honorer di SMK Telkom Sekar Kemuning, Kota Cirebon M. Sabil Fadhillah (34) yang viral karena berkomentar ‘maneh’ di Instagram (IG) Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menemui mantan guru honorer di SMK Telkom Sekar Kemuning, Kota Cirebon M. Sabil Fadhillah (34) yang viral karena berkomentar ‘maneh’ di Instagram (IG) Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. /Dedi Mulyadi/

PRFMNEWS – Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menemui mantan guru honorer di SMK Telkom Sekar Kemuning, Kota Cirebon M. Sabil Fadhillah (34) yang viral karena berkomentar ‘maneh’ di Instagram (IG) Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

Saat berbincang, Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa penggunaan kata Sunda ‘maneh’ yang dalam Bahasa Indonesia berarti kamu pada masa dulu dan sekarang memiliki perbedaan.

Menurut Dedi Mulyadi, dulu kata ‘maneh’ dijadikan panggilan akrab dan penuh cinta kepada seseorang.

Baca Juga: Usai Tolak Kesempatan Jadi Guru Lagi di SMK Cirebon, Sabil Terima Tawaran Kerja Bareng Dedi Mulyadi

Bahkan, lanjut Dedi Mulyadi, sebelum mengenal kata sayang seperti sekarang, orangtua zaman dulu menggunakan ‘maneh’ untuk panggilan sayang pada pasangannya.

Tak heran, dulu kata ‘maneh’ menjadi popular hingga dijadikan judul lagu Sunda yang terkenal pada masanya.

“Makanya dulu ada penulis lagu Sunda judulnya ‘Potret Manehna’ ciptaan Nano S, itu terkenal tahun 87an. Mungkin bagi orang yang tidak tahu latar belakang seperti ini, orang Priangan, bisa jadi kalimat itu tidak sopan,” ucap Dedi Mulyadi.

Baca Juga: Usai Tolak Kesempatan Jadi Guru Lagi di SMK Cirebon, Sabil Terima Tawaran Kerja Bareng Dedi Mulyadi

Kemudian Kang Dedi menambahkan cerita saat masih menjabat Bupati Purwakarta, dia pernah dianggap tidak etis secara birokrasi sebab lebih memilih disebut ‘akang’ dibanding ‘bapak’.

“Waktu itu diprotes dianggap tidak mengerti etika birokrasi, ke sini-sini begitu sebutan akang laku, kakek-kakek mau nyalon (jadi pejabat) maunya disebut akang,” tuturnya.

Lanjut dijelaskan oleh Dedi Mulyadi, awalnya Sunda yang berpatokan pada Pajajaran tidak mengenal istilah undak usuk basa atau tata krama dalam berucap sesuai kepada siapa lawan bicara kita.

“Stratifikasi di Sunda itu saamparan, sajajaran, tidak ada tingkatan manusia semua sama. Orang Sunda itu hidup dalam kesetaraan,” terangnya.

Seiring berjalan waktu, lanjutnya, masuklah era Sunda Priangan yang mendapat pengaruh stratifikasi manusia seperti menak atau anak ningrat.

Baca Juga: Bupati Bandung Sebut Ridwan Kamil Setujui Pembangunan 2 Infrastruktur Pengurai Macet di 2023

Hingga muncul sebutan atau bahasa untuk diucapkan kepada yang lebih tua, lebih muda, sebaya, kepada pimpinan dan sebagainya yang dikenal sebagai undak usuk basa tadi.

Kendati demikian, Kang Dedi tetap mengingatkan, sebagai seorang insan pengajar harus peka saat melontarkan kritik terlebih di media sosial, jangan sampai menimbulkan multitafsir pembacanya.

“Mengkritik boleh, tapi pilih diksi bahasa yang tidak menimbulkan kontroversi dan ketersinggungan,” pungkas Dedi Mulyadi.***

Editor: Rifki Abdul Fahmi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x