Sembako Kena Pajak PPN, Ekonom: Daya Beli Masyarakat Akan Turun

- 12 Juni 2021, 15:09 WIB
Ilustrasi paket sembako bansos Jabar tahap ketiga.
Ilustrasi paket sembako bansos Jabar tahap ketiga. /PRMN/PRFM



PRFMNEWS - Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menilai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk bahan pokok atau sembako dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan, bakal menimbulkan dampak besar bagi masyarakat.

Menurutnya rencana pengenaan pajak untuk sembako akan membuat daya beli masyarakat menurun.

Pasalnya pengenaan pajak tersebut, akan membuat harga sembako mengalami kenaikan.

Padahal saat ini, pemerintah tengah menjalankan program pemulihan ekonomi akibat pandemi.

"Ketika sembako kena PPN, efek secara ekonominya akan membuat daya beli masyarakat menurun, apalagi sekarang sedang dalam pemulihan (ekonomi)," kata Bhima saat On Air di Radio PRFM 107.5 News Channel, hari ini Sabtu 12 Juni 2021.

Baca Juga: Timnas Indonesia Kalah Telak dari UEA, Iwan Bule: Ini Bagian dari Proses

Bhima menambahkan, pemulihan ekonomi di masa Covid-19 tidak serentak.

Karena tidak semua kalangan masyarakat, masa pemulihan ekonominya sama.

Rencana ini pun dinilai berpotensi membuat angka kemiskinan naik. 

"Kalau masyarakat menengah ke atas bisa ketika harga naik 10%, tapi ketika dibebankan ke masyarakat menengah ke bawah apalagi sampai ke level bahan pertanian dikenakan PPN, petani yang rentan miskin akan jadi miskin," katanya.

Dia pun menyinggung Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang akan direvisi untuk memuluskan rencana pengenaan pajak sembako.

Baca Juga: Sedang Berlangsung! Ini Link Streaming Uji Tanding Persib Bandung vs Persikabo 1973

Menurutnya dalam undang-undang tersebut, bahan kebutuhan pokok tidak dikenakan PPN agar masyarakat bisa terlindungi dari dampak inflasi.

Pemungutan pajak sembako kata dia akan susah karena data pangan nasional saat ini belum valid.

"Bagaimana melakukan pemungutan pajak kalau data pangannya saja masih belum bagus," katanya.

Pemungutan pajak lanjut dia, harus dimulai dari pendataan yang baik.

Pengenaan pajak sembako sulit dilakukan, jika data pangannya belum valid.

Jika data pangan belum valid lanjut dia, nantinya pemungutannya akan jadi mahal.

"Contohnya gini, saya ngitung ketika 1% pajak dikenakan ke sembako, ada potensi penerimaan pajak sebesar Rp36,5 Triliun. Tapi pemerintah harus berpikir petugas pajak digaji berapa untuk memungut sembako. Karena sembako ini tersebar luas dan jenisnya banyak. Belum lagi rantai pasokan dari mulai petani sampai pasar tradisional, pedagang eceran, sampai pasar swalayan," katanya.

"Jangan sampai dapet ga seberapa, jadi beban ke masyarakat iya, tapi biaya pemungutannya lebih mahal. Jadi berat diongkos untuk pemungutannya, itu jadi problem prosedural," tandasnya.***

Editor: Rian Firmansyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x