"Pada malam hari, stratosfer menekan ke bawah, sehingga PM2,5-nya ada di bawah pada malam hari karena dingin. Justru kalau kita lari pagi PM2,5-nya tinggi, begitu memanas dia berkembang dan naik ke atas," jelas dia.
Berdasarkan alat pantau kualitas udara
Budi mengetahui kondisi tersebut dari pemanfaatan alat pemantau kualitas udara yang juga digunakan China untuk memitigasi polusi udara. Saat ini Indonesia sudah memiliki 674 alat tersebut yang harganya berkisar Rp3-4 juta per alat.
Budi menyarankan agar penggunaan alat tersebut diperluas di kawasan rawan polusi agar pemerintah memiliki data yang akurat terkait kondisi kualitas udara di daerah tersebut.
“Saya juga mengusulkan agar pemasangan alat tersebut dipaketkan dengan teknologi gas chromatography-mass spectrometry (GCMS) yang selama ini digunakan untuk mendeteksi kandungan senyawa kimia etilen glikol/dietilen glikol (EG/DEG) pada obat sirup,” ujarnya.
Kemenkes berencana mendesain alat tersebut secara mobile untuk memperluas cakupan layanan hingga menjangkau sejumlah daerah dengan tingkat polusi udara yang tinggi.
"Itu alat-alat yang bisa mendeteksi berat molekul, bisa mendeteksi bentuk molekul, dan kimianya molekul," tutur Budi.***