Kata Menkes, Kualitas Udara Paling Bersih Bukan di Pagi Tapi Sore Hari

- 31 Agustus 2023, 07:40 WIB
Ilustrasi penggunaan masker untuk mengatasi polusi udara.
Ilustrasi penggunaan masker untuk mengatasi polusi udara. /Antara/Aditya Pradana Putra/

PRFMNEWS - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan kadar polusi udara paling sedikit atau minim di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) dan sekitarnya justru bukan pada waktu pagi melainkan berada pada waktu sore hari.

Menkes mengaku selama ini dia dan mungkin sejumlah masyarakat menduga kualitas udara paling bersih dan minim polusi udara di kawasan Jabodetabek berada pada pagi hari. Namun hal tersebut justru keliru.

Kata Menkes, rentang waktu sore hari yang menunjukkan kualitas udara paling bersih dan sedikit polusi udara di kawasan Jabodetabek berada mulai jam 4 hingga 5 sore.

Baca Juga: Polusi Udara Buruk, Menkes Imbau Masyarakat Kembali Gunakan Masker untuk Cegah Penyakit

"Saya juga baru tahu, kalau kita pikir pagi itu udaranya yang paling bersih, itu salah besar. Ternyata yang paling bersih PM2,5 itu jam 16.00 hingga 17.00 WIB," kata Menteri Budi Gunadi Sadikin, Rabu 30 Agustus 2023.

Particulate Matter (PM2.5) adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer) sebagai komponen pembentuk polusi.

Alasan kenapa udara yang relatif lebih bersih berada pada sore hari, lanjut Budi, disebabkan oleh pengaruh fluktuasi suhu.

Baca Juga: Pemerintah Siapkan Sejumlah Langkah untuk Antisipasi Meningkatnya Penyakit Akibat Polusi Udara

"Pada malam hari, stratosfer menekan ke bawah, sehingga PM2,5-nya ada di bawah pada malam hari karena dingin. Justru kalau kita lari pagi PM2,5-nya tinggi, begitu memanas dia berkembang dan naik ke atas," jelas dia.

Berdasarkan alat pantau kualitas udara

Budi mengetahui kondisi tersebut dari pemanfaatan alat pemantau kualitas udara yang juga digunakan China untuk memitigasi polusi udara. Saat ini Indonesia sudah memiliki 674 alat tersebut yang harganya berkisar Rp3-4 juta per alat.

Budi menyarankan agar penggunaan alat tersebut diperluas di kawasan rawan polusi agar pemerintah memiliki data yang akurat terkait kondisi kualitas udara di daerah tersebut.

“Saya juga mengusulkan agar pemasangan alat tersebut dipaketkan dengan teknologi gas chromatography-mass spectrometry (GCMS) yang selama ini digunakan untuk mendeteksi kandungan senyawa kimia etilen glikol/dietilen glikol (EG/DEG) pada obat sirup,” ujarnya.

Baca Juga: Ditangkap Guru dan Pelajar, Begini Kronologi Penganiayaan Adik Kelas di Sukabumi hingga Alami Luka Bacok

Kemenkes berencana mendesain alat tersebut secara mobile untuk memperluas cakupan layanan hingga menjangkau sejumlah daerah dengan tingkat polusi udara yang tinggi.

"Itu alat-alat yang bisa mendeteksi berat molekul, bisa mendeteksi bentuk molekul, dan kimianya molekul," tutur Budi.***

Editor: Rifki Abdul Fahmi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah