Amnesty International: Adili Pelaku Penembakan Dua Warga di Timika

- 17 April 2020, 18:02 WIB
Ilustrasi kantong mayat.
Ilustrasi kantong mayat. /Dok PRFM.

BANDUNG, (PRFM) - Merespon penembakan dua warga di Timika, pada 13 April lalu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyatakan, tindakan tersebut sangat ceroboh.

Ia menambahkan, tindakan penembakan itu dilakukan tanpa melalui prosedur konfirmasi sehingga mengakibatkan dua warga sipil meninggal dunia.

“Siklus kekerasan yang terjadi di Papua harus segera diputus dan dihentikan. Kami mendesak penegakan hukum yang transparan dan akuntabel,” tegas Usman dalam keterangan resmi Amnesty International, Jumat (17/4/2020).

Usman menegaskan, pelaku penembakan yang menyebabkan dua warga Timika meninggal dunia, harus diadili dalam pengadilan umum, bukan pengadilan militer.

Baca Juga: Imbas Corona, 150 Ribu Pekerja Pusat Perbelanjaan di Jawa Barat Terancam Dirumahkan

Pasalnya pelaku penembakan bukan saja melanggar aturan disipliner, namun juga tindak pidana dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

“Jika hanya mekanisme internal, ini bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia tentang hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup,” sambungnya.

Diharapkan Amnesty International, pemerintah Indonesia melakukan investigasi secara independent dan menyediakan rehabilitasi serta jaminan tidak akan terulangnya peristiwa penembakan terhadap warga.

“Hasil investigasi juga harus dipublikasikan dan diberikan kepada keluarga korban dan masyarakat umum,” tambahnya.

Seperti diberitakan, pada Senin, 13 April 2020 lalu, terjadi penembakan di areal Mile 34 Distrik Kwamki Narama, Timika Papua. Peristiwa itu menewaskan dua warga sipil yaknil Ronny Wandik (21) dan Eden Armando Debari (19).

Baca Juga: Kemenkes Setujui PSBB Bandung Raya

Berdasarkan kronologi yang dihimpun dari pihak keluarga, kedua korban pergi untuk menangkap ikan di Kali Biru dengan membawa peralatan menangkap ikan. Mereka berada di Kali Biru hingga pukul 14.00 WIT.

Tidak lama kemudian sejumlah anggota Satuan Tugas Penegakan Hukum (Satgas Gakkum) TNI menghampiri mereka. Tak lama kemudian, dua warga tersebut ambruk dengan luka tembak.

Anggota Satgas Gakkum TNI diduga menembak kedua korban karena berasumsi bahwa keduanya merupakan anggota kelompok kriminal separatis bersenjata yang hendak menyerang PT. Freeport Indonesia di Timika.

Selain tidak adanya bukti yang ditunjukkan oleh aparat keamanan, perwakilan keluarga korban, Kris Ohee menjelaskan bahwa kedua korban bukan anggota kelompok kriminal separatis bersenjata dan mereka sudah sering mencari ikan di sekitar sungai dan tempat tersebut.

Saat menemui keluarga korban penembakan di kamar jenazah RSUD Mimika, Kapolda Papua, Irjen Polisi Paulus Waterpauw, mengakui bahwa situasi dan kondisi keamanan di wilayah Mimika sedang kurang kondusif akibat dari adanya sekelompok orang yang bersenjata melakukan aksi kekerasan secara masif kepada aparat TNI dan Polri, dan karyawan PT. Freeport Indonesia.

Sehingga, menurut dia, sejumlah personel Satgas Gakkum di wilayah Mimika, termasuk di area pertambangan PT. Freeport Indonesia sebagai salah satu objek vital nasional. Dia juga beralasan, situasi yang begitu terbuka membuat sulit membedakan anggota kelompok kriminal bersenjata dengan biasa.

Atas kejadian ini, Pangdam XVII Cenderawasih, Mayjen TNI Herman Asaribab, berjanji untuk membentuk tim investigasi untuk mengusut penyebab kematian kedua korban di Mile 34 secara tuntas.

Pada 2018, Amnesty International Indonesia menerbitkan laporan berjudul “Sudah, Kasih Tinggal Dia Mati!” yang mencatat sebanyak 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua antara Januari 2010 sampai Februari 2018, dengan memakan 95 korban jiwa.

Dalam 34 kasus, para tersangka pelaku berasal dari kepolisian, dalam 23 kasus pelaku berasal dari militer, dan dalam 11 kasus kedua aparat keamanan itu diduga terlibat bersama-sama.

Selain itu, satu kasus tambahan juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), lembaga di bawah pemerintah daerah yang ditugaskan untuk menegakan peraturan daerah. Sebagian besar korban, 85 dari mereka, merupakan warga etnis Papua.

Editor: Rifki Abdul Fahmi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah