“Keempat, menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi penghasil karya intelektual. Kemudian, menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan dan terakhir, menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers,” jelasnya.
Baca Juga: Batununggal Teratas, Ini 10 Kecamatan dengan Kasus Aktif Covid-19 Terbanyak di Kota Bandung
Ia menjelaskan bahwa saat ini ekosistem dan lanskap industri media telah mengalami perubahan drastis seiring dengan disrupsi akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
“Batas antara produsen dan konsumen informasi semakin samar. Kita juga kemudian mengenal apa yang disebut dengan konten buatan pengguna atau user generated content di mana sekarang khalayak media juga bisa berperan sekaligus sebagai penghasil informasi bahkan jauh lebih detail dibandingkan wartawan profesional pada batas-batas tertentu,” paparnya.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa media sosial tetap tidak bisa disamakan peran dan fungsinya dengan pers atau media mainstream.
Baca Juga: Kemendagri Apresiasi Pemerintah Daerah Gelar Vaksinasi Sesuai SOP
“Pers bersifat kelembagaan yang juga harus patuh pada beberapa regulasi, seperti kejelasan penanggung jawab konten, kejelasan alamat, kepatuhan pada kode etik, memunculkan pemberitaan yang edukatif dan tidak bertendensi hoaks, serta Batasan-batasan lainnya,” ujarnya.
Erwin mengatakan bahwa produk jurnalistik adalah produk intelektual bukan produk yang bisa disamakan dengan output yang dihasilkan sektor manufaktur.
“Oleh karena itu proses kemunculan informasi pers mulai dari menggali informasi sampai menyiarkan dalam bentuk berita harus selalu melalui kerja serius, berdasarkan fakta, dapat dipertanggungjawabkan. Kalaupun kemudian ada yang menggugat, penyelesaiannya secara intelektual pula. Inilah urgensi dari pelaksanaan UKW,” pungkasnya.***