Pasar Non Esensial di Bandung Capai Titik Nadir, APPSI: Transaksi Tinggal 10 Persen

- 30 Juli 2021, 16:50 WIB
Ilustrasi Mall
Ilustrasi Mall /Humas Bandung.

PRFMNEWS - Ketua DPW Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Jawa Barat, Nandang Sudrajat mengatakan nilai transaksi di pasar sektor non esensial sudah mencapai titik nadir.

Nandang mengungkapkan, nilai transaksinya saat ini hanya tinggal 10-20 persen.

Sedikit beruntung, pasar sektor esensial yang menjual bahan kebutuhan pokok masih mendapatkan nilai transaksi rata-rata 40-60 persen.

"Kategori non-esensial ini yang sangat memprihatinkan, nilai transaksinya mencapai titik nadir dalam 50-60 tahun terakhir dalam sejarah pasar kita. Itu tinggal 10-20 persen saja rata-rata di Kota Bandung," kata Nandang saat On Air di Radio 107,5 PRFM Bandung, Jumat 30 Juli 2021.

Baca Juga: Dewa United Bangun Training Camp Terpadu di Bogor, Rencana Rampung Akhir Tahun Ini

Ia berharap pemerintah daerah segera mengeluarkan untuk membuka beberapa pasar non sesnsial seperti ITC Kebon Kalapa, Pasar Baru, Pasar Andir, dan Baltos untuk sektor non esensial.

"Di Kota Bandung kita berharap Pak Walikota dan jajarannya di Kota Bandung Segera membuka pasar ITC Kebon Kalapa, Pasar Baru, Andir, dan Baltos yang untuk komoditi non-esensialnya," lanjutnya.

Ia pun mengira jika konsumen bukan takut untuk berbelanja namun saat ini daya beli masyarakat pun mengalami penurunan.

APPSI pun menyesalkan beberapa peraturan seperti Perwal yang dibuat tidak melibatkan pihaknya.

Perwal muncul dengan mengeneralisir bahwa pusat perbelanjaan dengan izin pusat perdagangan disamakan keberadaannya dengan mall sehingga harus tutup.

Baca Juga: Mendagri Tito Karnavian Sebut Pemerintah Harus jadi Motor Penyemangat Masyarakat saat Pandemi

Baca Juga: FAKTA ATAU HOAKS: Benarkah Pemegang Kartu Vaksinasi Covid-19 Dapat Bantuan Rp1 Juta?

Nandang menilai, pemerintah kota bisa saja mengubah peraturan tersebut karena merupakan kewenangan eksekutif.

Menurutnya pemerintah harus bisa membedakan antara keberadaan mall dengan pasar tradisional.

"Harus dibedakan antara mall dan pasar rakyat atau pasar tradisional, Mall itu meskipun ada pelaku usah ayang lain seperti UMKM mereka tidak beli tempat, mereka sewa jadi tenant-tenant. Kalau pasar itu alasannya karena itu sudah dibangun sudah megah, yang namanya pasar tradisional bukan anti modernisasi, kita itu harus modren untuk meningkatkan daya saing melalui revitalisasi," ujarnya.

Revitalisasi fisik, kata Nandang, merupakan hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya saing.

Baca Juga: Begini Kisah Kakek 64 Tahun yang Viral, Bersepeda 15 Km Ingin Ikut Vaksinasi

"Apa gara-gara itu (revitalisasi fisik) berubah nama jadi mall? Ya gak. karena di dalamnya ada budaya dan karakter pasar tradisional. kios dimiliki pedagang di beli, didalamnya ada transaksi tawar menawar," pungkasnya.***

Editor: Rifki Abdul Fahmi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x