Pewarna Karmin dari Serangga Halal atau Haram? Begini Penjelasan MUI

30 September 2023, 20:00 WIB
Penjelasan apa itu pewarna karmin, pewarna alami karmin halal atau haram, dan daftar produk mengandung karmin yang perlu diketahui. /Tangkap layar quora.com

PRFMNEWS – Hukum pewarna alami karmin yang berasal dari serangga Cochineal antara Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jawa Timur (Jatim) dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki perbedaan.

Menurut fatwa MUI, pewarna yang bisa digunakan untuk bahan campuran makanan, minuman bahkan kosmetik yang berasal dari serangga Cochineal ini adalah halal.

Sementara, Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jawa Timur menyatakan hukum pewarna alami karmin adalah najis dan menjijikkan sehingga lebih mengarah kepada haram.

Baca Juga: Pemprov Buka Pendaftaran Peserta Jabar Ultra Run 2023 Rute 161 KM Bandung-Cirebon Berhadiah Rp175 Juta

Mengutip laman resmi MUI, penggunaan pewarna karmin telah difatwakan halal oleh MUI berdasarkan Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal.

Secara jelas fatwa ini menyebutkan bahwa pewarna makanan dan minuman yang berasal dari Cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.

Dalam Ilmu Biologi, hewan ini digolongkan serangga karena termasuk kelas insecta, dengan genus Dactylopius, ordo Hemiptera dan spesies Dactylopius coccus.

Serangga ini hidup pada tanaman kaktus dan memperoleh nutrisi dari tanaman, bukan dari bahan yang kotor.

Baca Juga: Setiap Desa di Kabupaten Bandung Didorong untuk Miliki Bank Sampah

Hewan ini mempunyai beberapa persamaan dengan belalang, yaitu siklus hidupnya yang tidak melalui tahapan larva dan pupa serta darahnya yang tidak mengalir.

Sementara itu, LBM NU Jatim yang belum lama ini menyatakan hukum pewarna karmin adalah haram ditanggapi oleh Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh.

Niam menghargai pembahasan dan juga hasil keputusan LBM NU Provinsi Jawa Timur terkait dengan hukum penggunaan karmin untuk kepentingan pewarna makanan. Menurutnya, hal ini bagian dari proses ijtihad yang perlu dihormati.

Menurut dia, pada hakekatnya MUI dan LBM NU memiliki kesamaan perspektif dan pandangan dalam penetapan fatwa keagamaan, khususnya masalah ibadah dan pangan, yakni dengan menggunakan pendekatan ihtiyath atau kehati-hatian, dan sedapat mungkin keluar dari perbedaan fiqhiyah.

Baca Juga: BMKG Ungkap Penyebab Bandung Terasa Lebih Panas Saat Siang Hari

“Hanya saja penetapan hukum berbeda akibat dari perbedaan tashawwur masalah. MUI menggunakan pendekatan tahqiqul manath dengan memeriksa detail jenis hewan yang digunakan sebagai pewarna tersebut, mengingat jenis serangga itu sangat beragam. Sementara LBM NU, kalau membaca hasilnya, menyebutkan hukum serangga secara umum,” terang Niam.

Pendekatan al-ihtiyath (hati-hati) dan al-khuruj min al-khilaf atau sedapat mungkin keluar dari perbedaan pandangan fuqaha.

Hal ini bisa dilihat dari fatwa-fatwa MUI, khususnya yang saat ini sedang dibahas berkaitan dengan hasyarat atau serangga secara umum.

“Khusus terkait dengan penggunaan Cochineal untuk pewarna makanan, MUI telah melakukan pembahasan yang sangat intensif, dilakukan beberapa kali rapat dan juga pembahasan. Lebih dari enam kali forum diskusi dilaksanakan. Di dalamnya, kita mendengar berbagai pendapat dari para ahli di bidangnya untuk dijadikan pertimbangan penetapan hukum (fatwa),” ungkap Niam.

Baca Juga: Beckham Putra Sudah Mulai Gabung Latihan Namun Masih Dalam Pemantauan Tim Medis

Salah satu ahli yang menjadi narasumber saat itu adalah ahli entomologi, Dr. Dra. Dewi Sartiami, M.Si yang memberikan penjelasan mengenai anatomi Cochineal, siklus hidup, termasuk tentang pola hidup, bahaya, dan manfaat.

Selain itu, berbagai ahli juga menyebutkan bahwa dari sisi keamanan karmin telah diterima penggunaannya oleh berbagai otoritas keamanan pangan dunia.

Dari sisi sejarah penggunaannya karmin telah digunakan sejak ribuan tahun lalu oleh suku Aztec di Amerika Selatan dan terbukti aman, tidak membahayakan (’adam al-gharar).

“Dari berbagai penjelasan ahli diperoleh kesimpulan bahwa sifat Cochineal memiliki kemiripan dengan belalang. Sementara belalang dalam konteks fiqih Islam, sekalipun masuk dalam hasyarat, tapi memiliki kekhususan tersendiri,” tegas Niam.

Baca Juga: Dokter Berhasil Transplantasi Jantung Babi ke Manusia, Pasien Bernapas Normal dan Sehat

Hadits Riwayat Ahmad, menyebutkan, “Dari Abdullah ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: dihalalkan bagi orang muslim dua bangkai dan dua darah; sedang dua bangkai ialah ikan dan belalang, sedang dua darah ialah hati dan limpa.”

“Atas dasar itu, MUI menetapkan fatwa bahwa penggunaan Cochineal untuk kepentingan pewarna makanan hukumnya halal sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan,” pungkas Niam.***

Editor: Indra Kurniawan

Terkini

Terpopuler