Gerakan Hejo Sebut Kualitas Lingkungan di Jawa Barat Belasan Tahun Terakhir Ini Alami Penurunan

28 Februari 2021, 11:19 WIB
Ilustrasi Kawasan Hutan /PRFM

PRFMNEWS - Ketua Umum Gerakan Hejo, Eka Santosa menyebut kualitas lingkungan di Jawa Barat pada belasan tahun terakhir mengalami penurunan. Bahkan, turunnya kualitas lingkungan itu sebut berpotensi membuawa bencana di kemudian hari.

“Tapi kami lihat dari aspek regulasi. Kami mengatakan bahwa Jawa Barat di 15 tahun terakhir ini mengalami penurunan kualitas lingkungan,” ucapnya saat on air di Radio PRFM 107,5 News Channel, Minggu 28 Februari 2021.

Ia menyoroti sejumlah kondisi hutan maupun daerah resapan yang tak berfungsi maksimal atau malah b beralih fungsi. Sehingga membuat bencana tak bisa terelakan.

Baca Juga: Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah Resmi Ditahan KPK Karena Terlibat Dugaan Suap

Baca Juga: Update Cuaca Hari Ini di Kota Bandung Minggu 28 Februari 2021

“Itu perlu kita soroti secara bersama, misalnya indikasi bencana, kalau kita klasifikasi ke beberapa area Jawa Barat, dari jumlah sekitar 3,7 juta hektar yang terbagi di wilayah Priangan, Bodebek, dan Pantura yang mengalami bencana. Indikasi kedua kondisi sungai yang hampir rata-rata hancur, bahakan di perkotaan sudah berubah fungsi. Itu terlihat dari kasus citarum, ciliwung, dan cimanuk termasuk kerusakan di sisi pantai,” kata dia.

Sementara itu, hutan di Jawa Barat yang disebutnya seluas 3,7 hektar pun semakin berkurang. Bahkan hanya ada 300 ribu hutan yang tidak masuk dalam kategori kritis.

Sedangkan sisanya masuk pada kategori sangat kritis, kritis, dan agak kritis.

Baca Juga: Sejumlah Mahasiswa dan Nakes di Garut Sudah Dapat Vaksin Covid-19

Baca Juga: Gelar Internal Game, Shin Tae-yong Apresiasi Perkembangan Pemain Timnas Meski Beri Sejumlah Catatan

“Hutan kita memiliki data yang cukup bisa dipertanggung jawabkan, dari area 3,7 juta hektar ini keseimbangannya sudah sangat jauh. Kita lihat di lahan kritis, yang sangat kritis kurang lebih 50 ribu hektar, lalu kritisnya 650 ribu dan yang tidak kritisnya hanya 300 ribu, agak kritisnya 2,5 juta hektar,” jelasnya.

Hal itu disebut Eka karena tak dilihatnya antara kebutuhan dan kondisi lingkunga. Selain itu, ia mengkritisi pemerintah yang seolah tak menindak pelaku perusakan lingkungan.

“Karena ketidakseimbangan antara kebutuhan lingkungan untuk menjaga keseimbangan tadi. Kedua, ada regulasi yang terlalu sporadis. Sampai hari ini kita belum melihat fakta hukum terhadap perusak lingkungan,” ujarnya.***

Editor: Haidar Rais

Tags

Terkini

Terpopuler