Dampak Polusi Udara pada Kesehatan Bikin Beban BPJS Naik untuk Obati Ragam Penyakit Pernapasan

29 Agustus 2023, 11:00 WIB
Ilustrasi polusi udara di Jakarta /Reuteurs/ Willy Kurniawan/

PRFMNEWS – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan dampak polusi udara ikut tingkatkan beban BPJS Kesehatan. Hal tersebut disampaikannya usai rapat terbatas membahas peningkatan kualitas udara di Jabodetabek yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana Merdeka, Jakarta, Senin 28 Agustus 2023.

Kata Menkes, polusi udara yang semakin buruk memicu tingginya jumlah masyarakat terjangkit enam penyakit gangguan pernapasan seperti, pneumonia (infeksi paru), infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), asma, tuberkulosis, kanker paru, dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).

Beban BPJS akibat penderita enam penyakit gangguan pernapasan salah satunya akibat dampak polusi udara tersebut, ujar Menkes, mencapai Rp10 triliun pada tahun 2022 dan menunjukkan tren meningkat pada 2023 ini.

Baca Juga: Guru Besar ITB Paparkan Solusi untuk Mengatasi Polusi Udara Jakarta

Sehingga BPJS Kesehatan harus menggelontorkan total dana berkisar Rp8 triliun sampai Rp10 triliun tersebut untuk biaya pengobatan para pasien penderita enam gangguan pernapasan tersebut. Total tersebut berpotensi naik kembali mengingat tren pasiennya juga mengalami peningkatan.

“Ini beban BPJS-nya tahun lalu Rp10 triliun dan kalau melihat trennya di 2023 naik, terutama ISPA dan pneumonia, ini kemungkinan juga akan naik. Memang perlu kita sampaikan di sini, yang top 3-nya itu adalah infeksi paru atau pneumonia, infeksi saluran pernapasan yang di atas, kemudian asma. Ini totalnya sekitar Rp8 triliun dari Rp10 triliun yang tadi yang enam,” ungkap Menteri Budi.

Terkait dampak polusi di sektor kesehatan, lanjut Budi, WHO memberikan pedoman untuk melakukan pemantauan terhadap lima komponen di udara. Terdiri dari tiga komponen bersifat gas yaitu nitrogen, karbon, dan sulfur, serta dua komponen partikulat atau particulate matter (PM) yaitu PM 10 dan PM 2,5.

Baca Juga: Fasilitas Kesehatan di Jakarta Disiagakan Tangani Pasien Akibat Udara Tak Sehat

“Yang bahaya di kesehatan adalah yang 2,5. Kenapa? Dia bisa masuk sampai pembuluh alveoli di paru. Itu yang menyebabkan kenapa pneumonia itu terjadi. Itu sebabnya kalau di kesehatan memang kita melihatnya di PM 2,5 karena ini yang bisa masuk sampai dalam kemudian menyebabkan pneumonia yang memang di BPJS ini paling besar,” jelas Budi.

Melengkapi alat monitoring

Untuk memantau kualitas udara, ucap dia, pihaknya telah melengkapi puskesmas di Jabodetabek dengan alat monitoring yang dapat mendeteksi kadar PM 2,5 secara real time.

Lebih lanjut Budi menyampaikan, untuk menurunkan risiko dan dampak kesehatan, pihaknya akan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan bahaya polusi udara bagi kesehatan.

Selain itu, Kemenkes juga mendorong penggunaan masker sebagai upaya preventif atau pencegahan jika polusi udara terpantau tinggi berdasarkan standar yang sudah ditetapkan. Menurutnya, masker yang disarankan adalah memiliki kerekatan untuk menahan partikulat.

“Maskernya mesti yang KF 94 atau KN 95 minimum, yang memiliki kerengketan untuk menahan particulate matters 2,5 karena yang bahaya itu yang 2,5, dia masuk bisa masuk paru, dia masuk bisa masuk pembuluh darah paru karena saking kecilnya ya dia fine,” terangnya.

Baca Juga: Polusi Udara ‘Hantui’ Kota Bandung, Ini Upaya Pemkot Agar Kualitas Udara Kembali Baik

Kemudian, lanjut Budi, Kemenkes juga akan melakukan edukasi kepada dokter-dokter di puskesmas dan rumah sakit di Jabodetabek terkait langkah-langkah penanganan penyakit pernapasan.

Menkes pun berharap apabila masyarakat harus dirawat karena penyakit tersebut, masyarakat bisa mendapatkan penanganan dan diagnosis yang sama.

“Kita juga nanti besok ada kerja sama dengan teman-teman dari Rumah Sakit Persahabatan sebagai koordinator respiratory disease-nya Kemenkes, untuk bisa mendidik semua rumah sakit di Jabodetabek, semua Puskesmas di Jabodetabek, kalau ada ciri-ciri seperti ini, oh ini handle-nya begini. Kalau ada ciri-ciri seperti ini, ini handle-nya begini. Dengan demikian, kita harapkan kalau toh pun nanti ada yang masuk ke puskesmas atau rumah sakit, treatment-nya sudah sama, diagnosanya juga sudah sama,” pungkas Menkes.***

Editor: Rifki Abdul Fahmi

Tags

Terkini

Terpopuler