Target Energi Baru Terbarukan Indonesia Dipangkas jadi 19 Persen untuk Tahun 2025

- 31 Januari 2024, 22:00 WIB
Ilustrasi tenaga listrik menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Ilustrasi tenaga listrik menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT). /Pixabay/Sebastian Ganso

Rendahnya bauran energi terbarukan menuju 2030, juga dapat mengurangi daya tarik investasi luar negeri ke Indonesia, pasalnya, industri dan perusahaan multinasional saat ini sudah gencar untuk memastikan kebutuhan energi mereka dipasok dari sistem kelistrikan yang rendah emisi dan akses penuh pada energi terbarukan.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyebutkan, penetapan target bauran energi terbarukan yang rendah di 2025 dan 2030 ini tidak sejalan dengan target bauran energi terbarukan dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang membidik 44 persen pada 2030.

Baca Juga: PKL Jalan Dipatiukur Bandung dan Sekitarnya Akan Dipindah ke Lokasi Baru untuk Bantu Kurangi Kemacetan

“JETP telah menyepakati target bauran energi terbarukan di atas 34 persen di 2030 dan target ini selaras dengan rencana RUKN yang dibahas berbarengan dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) tahun lalu. Target bauran energi terbarukan yang diusulkan DEN membuat kredibilitas arah kebijakan transisi energi Indonesia diragukan oleh investor dan dunia internasional," ungkap Fabby.

"Ketimbang menurunkan target dengan alasan realistis, DEN seharusnya lebih progresif untuk melakukan transisi energi. Sebagai lembaga yang dipimpin Presiden, DEN justru dapat membongkar hambatan-hambatan koordinasi, tumpang tindih kebijakan dan prioritas untuk membuat energi terbarukan dan efisiensi energi melaju kencang,” tambahnya.

IESR memandang strategi dalam RPP KEN seperti pengoperasian PLTN berkapasitas 250 MW di 2032 dan penggunaan CCS/CCUS pada PLTU yang masih beroperasi pada 2060 ini belum didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis di Indonesia sampai saat ini.

Baca Juga: Kerap Ada Kemacetan di Simpang Gedebage Terutama Saat Weekend, Pemkot Bandung Lakukan Hal ini

PLTN dengan kapasitas kecil dari 300 MWe, small modular reactor, masih belum tersedia teknologi yang terbukti aman dan ekonomis. Indonesia sendiri masih harus membangun infrastruktur institusi (NEPIO), kesiapan regulator, standar keamanan, serta ketersediaan teknologi SMR yang sudah teruji, serta persetujuan masyarakat, sebelum mulai membangun PLTN.

Adapun aplikasi CCS/CCUS pada PLTU hingga saat ini masih menjadi solusi mahal dan tidak efektif untuk menangkap karbon, walaupun teknologi ini sudah dikembangkan puluhan tahun.

Sebagai contoh, proyek CCS di Boundary Dam Kanada dan juga di PLTU Petranova di US menunjukan masalah teknis untuk memenuhi target penangkapan karbonnya dan keekonomiannya tidak layak.

Halaman:

Editor: Indra Kurniawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x