PRFMNEWS - Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung sedang mengkaji pemberlakuan mini lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Mikro dan Kawasan (PSBMK), untuk wilayah dengan kasus konfirmasi positif yang cukup tinggi.
Langkah tersebut ditempuh, menyusul instruksi Presiden RI Joko Widodo yang memerintahkan kepala daerah memberlakukan mini lockdown guna mencegah penyebaran Covid-19.
Pemerhati Kebijakan Publik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof Cecep Darmawan mempertanyakan istilah mini lockdown.
Menurutnya, masyarakat dibuat bingung dengan banyaknya istilah baru yang digunakan pemerintah dalam penanganan Corona.
"Pemerintah membuat istilah baru yang terkadang dalam regulasinya belum tentu seperti itu," kata Cecep saat On Air di Radio PRFM 107.5 News Channel, Jumat 2 Oktober 2020.
Baca Juga: Mini Lockdown Kemungkinan Diterapkan di Kota Bandung Pekan Depan
Dia mengusulkan agar pemerintah memberi nama istilah kebijakan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Semisal memilih menggunakan istilah karantina, dibanding mini lockdown. Pasalnya, di dalam undang-undang, yang tercantum adalah istilah karantina.
"Hemat saya pemerintah merujuk saja berdasarkan yang formal, yang berlaku misal dengan menggunakan istilah karantina. Jadi jangan membuat bingung masyarakat dengan berbagai istilah yang kurang tepat," katanya.
Baca Juga: Update 2 Oktober 2020, Total Positif Corona di Kabupaten Bandung Bertambah 15 Kasus
Menurut Cecep, istilah-istilah seperti mini lockdown perlu dikaji ulang oleh pemerintah.
Dia berharap pemerintah menerapkan kebijakan yang sesuai dengan regulasi yang ada secara konsisten dan konsekuen.
"Kalau mau karantina wilayah, ya karantina wilayah. Kalau tidak mau ada PSBB, ada juga AKB, silakan pilih mana," katanya.
Baca Juga: Dibanderol Sampai Ratusan Juta Rupiah, Ini Tiga Batik Termahal di Dunia
Lebih lanjut dia menuturkan, setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus memiliki payung hukum yang jelas. Pasalnya, setiap kebijakan akan beririsan dengan anggaran.
"Kebijakan harus mempunyai cantolan atau dasar hukum yang jelas, kalau tidak ya kita meragukan keabsahan regulasi itu. Kalau dasar hukum tidak kuat, ketika keluar pembiayaan dari APBD dan APBN nanti jadi pertanyaan publik," katanya.***