BMKG Beberkan Penjelasan Soal Fenomena La Nina, Kapan Puncaknya dan Apa Dampaknya

- 25 Oktober 2020, 09:27 WIB
 Ilustrasi La Nina.
Ilustrasi La Nina. /Pixabay/Dexmac/

PRFMNEWS – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan fenomena alam La Nina diprediksi berlangsung pada Oktober 2020 hingga Maret 2021 mendatang.

Fenomena diketahui merupakan fenomena iklim global yang ditandai dengan adanya anomali suhu muka air laut di Samudera Pasifik tengah ekuator. Di lokasi tersebut, suhu muka air laut lebih dingin dari biasanya.

Bahkan, BMKG menyebut hingga saat ini suhu di sana mencapai lebih dari minus 1 derajat celcius.

Baca Juga: Serbu Promo Shopee Gajian Sale! Ada Promo Gratis Ongkir, Cashback Kilat 100%, Hingga Flash Sale 60RB

Menurut Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dampaknya dari fenomena itu bakal terasa di Indonesia yang suhu muka air lautnya cenderung hangat. Diprediksi, lanjut Dwikorita, puncak fenomena alam La Nina ini terjadi pada bulan Desember hingga Februari.

Karenanya ia meminta seluruh elemen baik masyarakat dan pemerintah mengantisipasi terjadinya bencana hidrometeorologi yang mungkin terjadi.

“Puncaknya diprediksi terjadi bulan Desember dan puncak musim hujan itu Januari Februari. Sehingga kita harus bersiaga menghadapi Desember, Januari, Februari. Maret masih terjadi La Nina tapi semakin melemah sampai April,” jelasnya saat on air di Radio PRFM 107,5 News Channel, Minggu 25 Oktober 2020.

Baca Juga: Titik Gempa Terdekat Terjadi di Pangandaran, Netizen PRFM Laporkan Kondisi Terkini

Fenomena ini dikatakan Dwikorita, terjadi lantaran adanya perbedaan suhu muka air laut di Samudera Pasifik tengah ekuator dengan di laut Indonesia.

“Padahal suhu muka air laut di Indonesia ini sudah hangat. Sudah di atas 26 derajat celcius atau bahkan sudah 28 derajat celcius atau lebih. Artinya, terjadilah gap, perbedaan yang nyata antara suhu muka air laut di Samudera Pasifik tengah ekuator dengan suhu muka air laut di Indonesia,” ujar Dwikorita.

Akibatnya, menurut Dwikorita, terjadilah perbedaan tekanan udara yang menyebabkan terjadinya aliran masa udara basah dari Samudera Pasifik menuju ke kepulauan Indonesia. Aliran masa udara basah ini semakin menguat, karena perbedaan suhu semakin tinggi.

Baca Juga: Duh! Lagi-Lagi Banyak Pejalan Kaki dan Pesepeda yang Lintasi Flyover Pasupati untuk Berolahraga

Terlebih lagi, Indonesia saat ini tengah masuk pada musim penghujan yang curah hujannya cukup tinggi.

“Berdampak pada penambahan uap air dan pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia yang sebetulnya saat ini sudah terjadi penguapan yang intensif dan pembentukan awan hujan akibat dari masuknya musim hujan. Sehingga terjadi penambahan yang diprediksi menambah akumulasi curah hujan bulanan dan musiman yang meningkat sampai 20-40% di atas normal,” kata dia.

Untuk menanggulangi hal ini, ia mengaku pihaknya telah bekerja sama dengan PUPR, Badan Geologi, Kementerian Lingkungan Hidup, hingga pemerintah daerah di Indonesia untuk meminimalisir dampak yang terjadi.

Baca Juga: Terasa Hingga Bandung, Ini Titik Gempa yang Terjadi Minggu 25 Oktober 2020 Pagi Ini

 

Ia pun meminta masyarakat untuk senantiasa aktif dalam memantau perkembangan fenomena ini dari BMKG.

“Kami sejak awal Oktober berkoordinasi dengan lembaga terkait seperti PUPR yang mengatasi banjir, kemudian Badan Geologi, juga Kementerian Lingkungan Hidup serta pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan BNPB. Untuk menyiapkan pengelolaan tata air dari hulu ke hilir dan bagaimana meningkatkan kapasitas tampungan air di danau, waduk dan tampungan air,” ungkapnya.***

Editor: Haidar Rais


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x