Ia menegaskan, sudah dilakukan studi kepada masyarakat yang di sekitarnya sudah mendapatkan nyamuk ber-Wolbachia.
Hasil studi disampaikan oleh Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dr. Riris Andono Ahmad.
"Di Sleman dan Bantul, Yogyakarta, kami ambil sampel darah, karena kalau ada virus masuk ke dalam tubuh, kan tubuh otomatis membentuk antibodi. Dari sekian banyak sampel darah warga yang kami ambil, tidak ada satu pun yang ditemukan ada antibodi melawan Wolbachia di dalam tubuhnya," ujar Andono.
Andono mengemukakan, penerapan nyamuk ber-Wolbachia ini lebih tepat dilakukan di kota-kota padat penduduk, karena nyamuk juga memiliki batas terbang.
Ia juga memaparkan, berdasarkan hasil studi yang dilihat dari jurnal medis Inggris, efektifitas penerapan nyamuk ber-Wolbachia di suatu komunitas masyarakat dapat mengurangi insiden kasus demam berdarah dengue (DBD) sebesar 77 persen, sekaligus mengurangi kapasitas rawat inap di rumah sakit akibat DBD sebesar 86 persen.
"Bahkan di Niteroi, Brasil, juga sudah berhasil menurunkan kasus chikungunya secara bermakna sebesar 56 persen, juga mengurangi risiko akibat virus zika sebesar 37 persen," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, juga menyebutkan klaim yang beredar tentang nyamuk Wolbachia menimbulkan genetik LGBT tidak benar.
"Wolbachia sendiri adalah bakteri yang dapat tumbuh alami di serangga, terutama nyamuk, kecuali nyamuk Aedes Aegypti," katanya.
Nadia menerangkan bakteri Wolbachia dapat melumpuhkan virus dengue, sehingga apabila ada nyamuk Aedes Aegypti menghisap darah yang mengandung virus dengue akan resisten, sehingga tidak akan menyebar ke dalam tubuh manusia.