Legislasi dan Regulasi Obat: Seberapa Penting?

- 20 Oktober 2020, 17:57 WIB
Ilustrasi obat dan vaksin.
Ilustrasi obat dan vaksin. /PRFM



PRFMNEWS
- Hingga saat ini, obat merupakan komoditas dengan legislasi dan regulasi yang paling ketat di dunia.

Berdasarkan Departement of Health, the United Kingdom, legislasi mengatur obat secara keseluruhan mulai dari produksi, import/eksport, distribusi, penjualan, kebutuhan produk itu sendiri seperti labelling, pemasaran sampai dengan pharmacovigilance.

Sedangkan regulasi lebih mengatur obat yang berhubungan dengan pharmacovigilance untuk dipasarkan.

Baca Juga: Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf, IPR: Ketika Suara Rakyat Tak Didengar, untuk Apa Kita Berdemokrasi?

Mann dan Andrews di dalam bukunya berjudul 'Pharmacovigilance' menjelaskan bahwa Pharmacovigilance adalah evaluasi keamanan obat yang sudah dipasarkan dan digunakan secara klinis oleh masyarakat luas.

Lalu mengapa legislasi dan regulasi obat itu penting? Dapat kita cermati bersama bahwa obat merupakan komoditas yang digunakan oleh seluruh manusia, mulai dari anak-anak hingga dewasa, dengan berbagai latar belakang sosial dan ekonomi (Brundtland, 2007).

Siapapun, ketika sakit akan menggunakan obat. Selain itu, obat merupakan barang yang jika penggunaannya tidak tepat dapat membahayakan pengguna, dalam hal ini pasien.

Baca Juga: Dishub Jabar Kaji Pemasangan Roller Barrier dan Jalur Darurat di Turunan Nagreg

Legislasi dan regulasi memastikan bahwa obat yang diresepkan dokter dan yang dikonsumsi pasien adalah obat yang dapat menimbulkan efek, berkualitas, dan aman.

Menengok sedikit ke belakang sedikit, salah satu catatan hitam dalam dunia pengobatan adalah pada tahun 1961-1962, dimana Thalidomide diperkenalkan dan diterima dengan sangat baik sebagai obat antimual yang aman dan efektif.

Pada saat itu, Thalidomide sangat populer dan digunakan untuk mengobati mual muntah pada ibu hamil di trimester pertama. Namun kemudian ditemukan bahwa obat tersebut merupakan teratogen yang poten dan menyebabkan cacat lahir pada kurang lebih 10.000 bayi di seluruh dunia (Mann dan Andrews, 2006).

Baca Juga: Keluhan Terkait ODGJ Meningkat, Dinsosnangkis Kota Bandung : Bukan Tanggung Jawab Kami

Kejadian ini menjadi pukulan telak terutama untuk badan pengawasan obat, seperti the United States Food and Drug Administration (FDA). Sejak saat itu, akhirnya terjadi perombakan besar-besaran dan legislasi serta regulasi obat diperketat sampai dengan saat ini.

Legislasi dan regulasi obat diterapkan mulai dari tahap penemuan dan pengembangan obat, yang terus menerus dilakukan untuk menghasilkan obat-obat yang bermanfaat di dunia kesehatan.

Tahapan pada proses penemuan dan perkembangan obat adalah pemilihan target kerja obat, penentuan senyawa, prediksi kinerja senyawa berdasarkan struktur kimia (in silico), uji pra klinik, uji klinik.

Seluruh proses yang dilaksanakan harus sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana pada pasal 98 mengatur mengenai ketentuan sediaan farmasi dan alat kesehatan dari mulai pengadaan hingga pengedaran.

Proses pertama yaitu pemilihan target kerja obat, ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui target kerja obat sehingga mempermudah memprediksi kerja senyawa obat tersebut.

Pada umumnya target kerja obat adalah sel, protein, gen, ataupun biofarmasetik. Selanjutnya dilakukan proses skrining dalam upaya mengidentifikasi senyawa yang memiliki potensi sebagai obat.

Baca Juga: Jika Tidak Ada Kompetisi, Iwan Bule: Hilang Satu bagian dari Program Shin Tae-yong

Proses identifikasi senyawa dilakukan pada senyawa hasil sintesis maupun senyawa yang dihasilkan dari proses isolasi. Hasil positif yang dihasilkan dari proses ini akan menjadi senyawa utama yang merupakan kandidat untuk menjadi obat baru (Bertram, 2012).

Setelah didapatkan senyawa yang memiliki aktivitas sebagai obat, senyawa tersebut di formulasikan menjadi sediaan obat yang dapat mencapai target obat. Hal tersebut diatur dalam PP No 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.

Setelah didapatkan formulasi obat yang baik maka pengujian pra klinik akan dilakukan. Pengujian pra klinik adalah suatu usaha dalam memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul ketika pasien mengkonsumsi senyawa obat tersebut.

Karena pengujian senyawa obat yang dapat di ujikan pada manusia hanyalah senyawa-senyawa yang telah terbukti tidak memiliki efek yang berbahaya pada hewan uji (Mahan, 2014).

Seluruh proses tersebut harus memenuhi Good Agriculture Practice (GAP) dalam pemilihan bahan baku yang digunakan dan Good Laboratory Practice (GLP) untuk laboratorium penelitiannya.

Pada tahap selanjutnya, dilakukan uji klinis pada manusia. Di Indonesia sendiri, BPOM mengeluarkan Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) sebagai regulasi pada fase uji klinik.

Baca Juga: Terus Melonjak, Jumlah Pasien Sembuh Corona di Indonesia Bertambah 4.410 Orang

Uji klinik merupakan instrumen yang penting dalam pengembangan obat untuk menilai efek, khasiat dan atau kemanfaatan obat atau produk obat.

Dalam hal ini kualitas uji klinik harus diperhatikan agar mutu hasil uji klinik tersebut dapat dipercaya dan diandalkan (BPOM, 2015).

Obat (produk uji) yang sudah melalui tahapan uji klinis, dapat melakukan pengajuan registrasi obat kepada BPOM untuk mendapatkan NIE (Nomor Izin Edar). Obat yang sudah mendapatkan NIE, diperbolehkan untuk dipasarkan.

Nomor Izin Edar (NIE) atau Nomor Registrasi Obat penting untuk diperhatikan untuk memastikan obat telah terdaftar di BPOM sehingga obat dijamin aman, berkhasiat dan bermutu.

Registrasi obat ini diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksanan Registrasi Obat.

Baca Juga: Hingga Oktober, Satpol PP Kota Bandung Kantongi Rp103 Juta Hasil Denda Pelanggar Aturan

Selanjutnya, pendistribusian obat untuk diedarkan kepada masyarakatpun harus sesuai dengan regulasi yang ada, tujuannya adalah untuk memastikan mutu obat dan/atau bahan obat dan mempertahankan integritas rantai distribusi selama proses distribusi.

Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) diatur oleh Pemerintah melalui Peraturan Kepala Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan), dan Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Teknis Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) yang diterbitkan oleh Badan POM RI.

Terkait dengan pengawasan obat, Badan POM melakukan pengawalan dan pemantauan mulai dari evaluasi prapemasaran (pre-market evaluation) hingga pengawasan pascapemasaran (post-market surveillance) obat yang beredar terhadap aspek keamanan, khasiat dan mutu.

Dalam lingkup pengawasan obat pasca pemasaran, pemantauan aspek keamanan obat merupakan kegiatan yang strategis dalam rangka menjamin keamanan obat.

Baca Juga: Jabar Pengguna Narkoba Terbesar di Indonesia, BNN Masifkan Program Desa Bersinar

Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran dilakukan untuk mengetahui efektivitas dan keamanan penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya.

Banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya efek samping obat dapat dicegah, dengan pengetahuan yang bertambah, antara lain diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek keamanan obat pascapemasaran.

Oleh karena itu, kegiatan ini menjadi salah satu komponen penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara umum.*** (Nurul Hidayati, Lisa Sophianingsih, Kristin Fransiskus/Sekolah Farmasi ITB)

Editor: Indra Kurniawan

Sumber: Beragam Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x