Gandeng Para Peneliti dari Jerman, ITB Siapkan Strategi Hadapi Perubahan Iklim

- 16 Desember 2023, 19:00 WIB
 Ilustrasi Laju Pencairan Gletser di Greenland Meningkat 5 Kali Lipat Gegara Perubahan Iklim Dalam 2 Dekade Ini/
Ilustrasi Laju Pencairan Gletser di Greenland Meningkat 5 Kali Lipat Gegara Perubahan Iklim Dalam 2 Dekade Ini/ /Unsplash/Annie Spratt/

PRFMNEWS - Sejak tahun 2019 hingga akhir tahun 2023 ini, Pusat Perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung (PPI-ITB) bersama Deutsches Institut für Wirtschaftsforschung (Institut Jerman untuk Penelitian Ekonomi; DIW) Berlin melakukan proyek penelitian kolaboratif dengan tema, Memperkuat implementasi kebijakan iklim nasional: Pembelajaran empiris komparatif dan menciptakan keterkaitan dengan pendanaan iklim (SNAPFI).

Konsorsium penelitian tersebut mendapat dukungan dari Kementerian Federal Jerman untuk Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir (BMU).

Penelitian ini bertujuan untuk mendukung implementasi National Determined Contributions (NDC) di setiap negara dengan memberikan saran kebijakan yang terkait dengan isu-isu perubahan iklim.

Dalam kolaborasi tersebut Tim PPI-ITB melakukan penelitian di dua bidang, yakni:

1. Studi Nasional di Indonesia berfokus pada tata kelola perubahan iklim di sektor energi dan strategi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca

2. Studi Internasional komparatif di Indonesia berkonsentrasi pada pendanaan iklim dan strategi adaptasi untuk mengatasi perubahan iklim.

Pada saat ini konsorsium tersebut mengadakan kegiatan Simposium untuk mendiseminasikan hasil-hasil penelitian dan menyampaikan saran kebijakan kepada pihak-pihak yang berkaitan. Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid di Conference Hall Gedung CRCS ITB Lantai 2, Kampus Jl. Ganesa No.10, Bandung, dan melalui Zoom meeting.

Acara ini dibuka oleh Kepala PPI-ITB, Prof.Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D. Kemudian dalam acara ini disampaikan satu keynote speech oleh Dr. Heiner von Lüpke seorang peneliti senior dari DIW Berlin dengan pembahasan Topik: Perspektif Global tentang Pembiayaan Transisi Energi yang Berkeadilan.

“Keadilan saat ini tidak adil jika hanya negara maju yang menghasilkan emisi dan negara berkembang yang hanya terkena dampak dari emisi tersebut”, ujar Prof. Ir.Djoko Santoso Abi Suroso, PhD selaku Ketua Pusat Perubahan Iklim ITB.

Seperti diketahui, perubahan iklim merupakan salah satu masalah global yang telah menjadi kekhawatiran umum dalam beberapa tahun terakhir.

Untuk menghindari dampak iklim terburuk, masyarakat global perlu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) setengahnya pada tahun 2030 dan mencapai nol emisi bersih (Net Zero Emission) pada sekitar pertengahan abad ini.

Pemerintah Indonesia telah menyusun Strategi Jangka Panjang untuk Karbon Rendah dan Resiliensi Iklim (LTS-LCCR) sebagai komitmen untuk mencapai Emisi Net Zero pada tahun 2060 atau lebih awal.

Pada tahun 2022, Indonesia telah menyampaikan ambisi yang semakin meningkat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui dokumen Enhanced NDC (ENDC) Indonesia.

Senior Researcher DIW Berlin, Dr. Heinner Von Lupke mengatakan, transisis energi dituntut cepat berkeadilan dan merata. Tahun 2020-2021, insentif pengembang Energi Baru Terbarukan belum besar, sehingga kurang ketertarikanya untuk dikembangkan oleh pihak-pihak terkait.

Lebih lanjut Dr. Niken Prilandita, sebagai tim Pusat Perubahan Iklim ITB menyampaikan bahwa kebijakan iklim memiliki panggung depan dan belakang karena adanya dualisme, karena adanya penggusaha yang menjadi penguasa.

Sementara itu, Dokumen ENDC menunjukkan peningkatan pada target NDC, yaitu target mitigasi perubahan iklim dengan sumber daya sendiri dari 29% meningkat menjadi 31,89%, sementara dengan dukungan internasional dari 41% meningkat ke 43,20% pada ENDC. Di Indonesia, sektor energi adalah sektor emisi gas rumah kaca terbesar kedua setelah sektor FOLU, menyumbang 34% dari total emisi pada 2019. Pemerintah Indonesia juga menetapkan target untuk bauran energi baru terbarukan (New Renewable Energy mix) pada tahun 2025 setidaknya 23% dan 31% pada tahun 2050. Namun, pembangunan energi terbarukan tetap lambat dan jauh di bawah apa yang diperlukan untuk mencapai target 23% energi mix pada tahun 2025. Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang dilakukan di Indonesia, emisi dari sektor energi diperkirakan akan menjadi emiten terbesar pada tahun 2030, sementara sektor FOLU akan berkurang secara bertahap.

Studi SNAPFI ini berfokus pada model tata kelola iklim di sektor energi Indonesia. Dari studi tahun pertama (2020), analisis terhadap pemangku kepentingan menunjukkan bahwa KLHK dan Bappenas adalah dua aktor utama dalam manajemen perubahan iklim di Indonesia. ESDM juga menjadi pemain penting, mengingat sektor energi sebagai kontributor terbesar kedua untuk tujuan NDC.

Di sektor energi tersebut, DEN menjadi instansi pusat dalam mengawasi dan mengkoordinasi departemen terkait dalam implementasi NDC.

Analisis pemangku kepentingan juga menunjukkan bahwa tata kelola iklim di sektor energi memiliki banyak pemangkar yang terlibat dari berbagai sektor dan perspektif.

Kompleksitas vertikal dan horizontal dalam tata kelola perubahan iklim dan energi di Indonesia, bersama-sama dengan kompleksitas sektoral, dapat digambarkan menjadi segitiga antara tata kelola iklim, tata kelola energi, dan pendanaan iklim yang membutuhkan pengaturan pengelolaan energi untuk memecahkan kompleksitas ini.

Dari analisis kebijakan, terdapat kesenjangan antara komitmen Pemerintah Indonesia terhadap NDC, kebijakan nasional, dan program untuk mencapainya, di mana pengembangan energi terbarukan tidak lebih disukai daripada pengembangan energi berbasis batubara.

Dalam sektor energi di Indonesia, upaya pencapaian NDC masih menghadapi tantangan besar seperti dilema batubara, trilema energi, kerangka hukum yang tidak memadai untuk mendukung investasi menuju pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, dan proses birokrasi yang rumit. Pengembangan energi terbarukan membutuhkan kerangka hukum yang kuat untuk menarik investasi asing.

Dalam studi tahun ketiga (2022), ditemukan bahwa keterlibatan sektor swasta dalam pengembangan EBT diperlukan, terutama di negara-negara berkembang di mana pendanaan publik tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan iklim dan kurangnya kapasitas pemerintah lokal dalam pembangunan EBT.

Pendanaan untuk EBT di Indonesia masih terbatas meskipun EBT dimaksudkan untuk menjadi kontributor pertama dalam pengurangan emisi GRK. Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan EBT. Namun, di sisi lain, Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan dalam tata kelola energi, seperti ekonomi yang tidak stabil, peraturan dan kebijakan yang rumit, dan investor kurang tertarik untuk mengembangkan EBT.

Praktek informal dalam tata kelola Indonesia telah memungkinkan pembuatan dan implementasi kebijakan energi yang menguntungkan sektor batubara daripada energi terbarukan, khususnya dalam isu trilema energi.

Peran kepemimpinan nasional harus diperkuat untuk mencapai NDC pada tahun 2030 dan transisi ke Net Zero Emission pada tahun 2060. Sektor swasta dapat berkontribusi secara substansial pada kemajuan sektor energi terbarukan dalam hal pembiayaan, dan/atau kontributor riset dan pengembangan (R&D).

Tiga kondisi utama tetap penting dalam menerapkan instrumen kebijakan yang diusulkan yaitu: agenda konvergensi yang mengarah ke energi terbarukan dalam pembuatan kebijakan energi, membangkitkan peran dan struktur DEN, dan peningkatan BPDLH sebagai manajer dana lingkungan di Indonesia.

Sementara itu pada tahun 2023, studi tahun keempat telah mengidentifikasi model tata kelola iklim-energi Indonesia melalui kerangka pengelolaan iklim, termasuk aktor/institusi kunci, kebijakan kunci, proses kebijakan, dan pembiayaan.

Mengenai aktor/institusi kunci, ditemukan bahwa: Para aktor yang berperan dalam menghasilkan kebijakan iklim-energi adalah Bappenas, KLHK, ESDM, dan DEN. Namun, hanya ESDM dan DEN yang tetap paling berpengaruh di dalam tata kelola tersebut.

Namun, studi ini juga menemukan, bahwa seringkali terjadi konflik internal yang disebabkan oleh kepentingan yang berbeda. Para aktor masih berperan secara konsisten sesuai dengan pekerjaan, fungsi, dan konstelasi kekuatan untuk masing-masing lembaga. Kementerian terkait melihat aksi perubahan iklim masih dalam silos, bukan menganggapnya sebagai sistem terintegrasi dalam agenda pembangunan Indonesia.

Pada saat press conference Ketua Pusat Perubahan Iklmi Institut Teknologi Bandung (ITB) menyampaikan bahwa riset mengenai Geothermal sebagai salah satu EBT di Indonesia juga sudah cukup banyak dilakukan namun, yang menjadi perhatian khusus adalah kurangnya sosialisasi Geothermal di lingkup masyarakat.

“Sebelum UU panas bumi pada 2014, pemanfaatan panas bumi di area konservasi itu dilarang, namun saat ini sudah ada pembaharuan karena luasan wilayah untuk geothermal tidak terlalu besar, namun permasalahannya adalah kurangnya sosialisasi dan menyebabkan ketakutan kepada masyarakat lokal akibat dampaknya”.

Sebagai penutup Prof. Dr. Eng. Prandono, S.E, M.Ec.Dev, Tim SNAPFI-Pusat perubahan Iklim ITB mengajak semua elemen yang hadir untuk senantiasa saling bahu-membahu untuk mengurangi emisi dunia, terutama emisi di Indonesia.

“Mari kita berpartisipasi aktif dalam mengelola perubahan energi untuk mengurangi emisi di dunia dan Indonesia, tentu saja kami berharap adanya kerja sama ini dapat membawa perubahan bagi bumi kita, yang akan berdampak pada perubahan iklim," tutup Prof Prandono.***

Editor: Indra Kurniawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah