Ahli Psikologi Forensik Tanggapi Hukuman Kebiri Kimia, Singgung Soal Etika Profesi Dokter

4 Januari 2021, 22:50 WIB
Pemerintah mengesahkan PP terkait hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. /dp3akb.jabarprov.go.id

PRFMNEWS - Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri buka suara terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia. Menurutnya, hukuman jenis ini berpotensi melanggar etika profesi dokter.

Dipaparkan Reza, setidaknya ada enam faktor faktor hukuman kebiri kimia yang berpotensi melanggar etika profesi dokter.

Pertama, seperti halnya metode kontrasepsi berbasis kimia, kebiri kimia kemungkinan besar diselenggarakan beberapa kali. Padahal, PP Nomor 79 Tahun 2020 tidak memuat pasal bahwa predator akan diberikan zat kimia itu secara berulang.

Baca Juga: Ini 10 Kelurahan Tertinggi Kasus Positif Aktif Corona di Kota Bandung, Antapani Kidul Urutan Pertama

Baca Juga: Dua Kecamatan di Kabupaten Bandung Dinyatakan Nol Kasus Positif Aktif Covid-19

Kedua, lanjut Reza, PP Nomor 70 Tahun 2020 menempatkan hukuman kebiri kimia sepenuhnya ditentukan oleh hakim atas diri predator (pelaku).

"Dinihilkannya kehendak pelaku berisiko memantik penolakan bahkan amarah pelaku sehingga menjelma sebagai predator yang lebih buas, sehingga justru mempertinggi risiko residivisme pelaku," kata Reza saat On Air di Radio PRFM, Senin 4 Januari 2021.

Fator ketiga, kata Reza, PP Nomor 70 Tahun 2020 tidak memuat dasar logis bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak berbasis daring. Hal ini membuat hukuman kebiri kimia kehilangan relevansi.

"Pelaku memang tidak melakukan secara fisik dengan korbannya. Namun secara virtual ia mampu memengaruhi target untuk merusak atau mencabuli dirinya sendiri. Dalam situasi seperti itu, kebiri kimia menjadi kehilangan relevansinya. Padahal, kejahatan seksual berbasis daring sangat mungkin memakan lebih banyak korban," ucap Reza.

Faktor keempat, PP Nomor 70 Tahun 2020 mengatur bahwa hukuman kebiri kimia tidak dikenakan pada pelaku yang berusia kanak-kanak. Pasalnya, dinamika psikoseksual individu anak-anak dan individu dewasa sangat berbeda.

Baca Juga: Data Terbaru Penularan Corona di Kota Bandung 4 Januari : Total Kasus Positif Aktif 528 Pasien

Baca Juga: Vaksin Tiba di Jateng, Ganjar Pranowo Sebut Nakes Prioritas Pertama

"Bahkan antar sesama anak, karena juga terbagi ke dalam sekian tahap perkembangan, dinamika psikoseksual mereka juga berlainan satu sama lain. Pelaku 16 tahun dan pelaku berumur 6 tahun tentu berbeda tajam, walau mereka masih sama-sama berada dalam kategori anak-anak. Bagi pelaku berumur 16 tahun itu, karena kematangan seksualnya sudah berada pada fase lanjut, maka kebiri kimia justru bisa bermanfaat positif," imbuh Reza.

Faktor kelima, anak-anak tidak akan diberikan tindakan hukuman kebiri kimia karena masih masuk kategori anak-anak saat dipidana. Padahal, justru setelah melewati usia anak-anak, kata Reza, dorongan seksualnya baru menjadi predisposisi jahat.

 

Faktor keenam, dalam PP Nomor 70 Tahun 2020, hukuman kebiri kimia bukan pemberatan sanksi, melainkan tindakan yang dilangsungkan bersama rehabilitasi.

"Karena bukan penghukuman, Dokter tampaknya berpeluang menjadi eksekutor kebiri. Sisi lain, karena kebiri merupakan tindakan, maka persetujuan pelaku harus dipenuhi. Tanpa consent, kebiri kimia justru akan menjadi perlakuan yang dipaksakan kepada diri pelaku. Tidakkah ini melanggar etika profesi?" tukas Reza.***

Editor: Indra Kurniawan

Tags

Terkini

Terpopuler