Sedangkan terkait isu penanganan Covid-19, dari 10 unggahan, Prof. Atwar menemukan hampir setiap unggahan akan menimbulkan respons ujaran kebencian.
Beberapa isu yang memiliki ujaran kebencian tertinggi adalah pada respons pada pemerintah lokal, kebijakan protokol kesehatan, hingga isu-isu agama tertentu.
Baca Juga: Polisi Tangani Kasus Dugaan Ujaran Kebencian dan SARA Ferdinand Hutahaean
“Komposisinya tidak jauh berbeda. Apapun yang dituliskan oleh admin (dua akun tersebut), selalu menimbulkan ujaran kebencian walaupun dalam jumlah sedikit,” imbuhnya.
Jika diklasifikan, jenis kata yang dilontarkan biasanya merupakan kelompok kata yang bersifat menjijikan, kasar, hingga pembodohan. Lontaran kata-kata ini bertujuan untuk melakukan penghinaan, intimidasi, tuduhan, sumpah serapah, atau mempromosikan kekerasan.
Namun rupanya, ada proses yang melatarbelakangi netizen mengeluarkan komentar ujaran kebencian.
Awal mula kemunculan dari ujaran kebencian di Facebook dipicu dari sebuah peristiwa yang diproduksi menjadi suatu berita. Berita yang diproduksi bisa saja benar atau bahkan bisa menjadi palsu (hoaks).
Berita tersebut kemudian dikomentari tokoh elit, pemengaruh (influencer), atau pendengung (buzzer) melalui status yang diunggah di akun media sosialnya.
Unggahan tersebut kemudian direspons oleh pengikutnya. Komentar yang dihasilkan bisa berupa ujaran kebencian ataupun bukan.