“Secara konsep, kebijakan tersebut dapat dianggap adil. Sebab masyarakat yang dinilai mampu bisa membayar lebih, sementara yang kurang mampu bisa mendapatkan bantuan,” tuturnya.
Untuk itu, Miming menyampaikan bahwa pada tataran implementasi, kebijakan tersebut bisa menimbulkan sejumlah risiko yang menjadi tantangan baru bagi pemerintah. Salah satu masalah utama yang bisa muncul jika kebijakan itu jadi diterapkan, yakni validitas dari NIK itu sendiri.
"Sebagaimana diketahui, data kependudukan di Indonesia masih sering kali bermasalah. Apabila terjadi kesalahan dan klasifikasi, penumpang yang seharusnya mendapatkan tarif lebih murah malah dapat dikenakan tarif yang tinggi," katanya.
Tak hanya itu, Miming juga menyebutkan adanya perbedaan tarif untuk layanan transportasi yang sama, berisiko memunculkan konflik di lapangan. Utamanya, ketika ada kesalahan dalam pembacaan data atau ketidakcocokan informasi.
Misalnya, ketika di lapangan, para penumpang tengah mengantri untuk masuk KRL, lalu terjadi kesalahan dalam pembacaan data. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan tarif yang dibebankan tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka.
Baca Juga: Rekomendasi 5 Ramen Murah dan Enak Bercita Rasa Otentik di Bandung, Harga Menu Mulai Rp7 Ribu
"Hal ini berpotensi menimbulkan protes dan bahkan kerusuhan di stasiun. Dalam situasi seperti ini, potensi kekacauan massal sangat tinggi, dan ini tentunya menjadi risiko besar yang harus dipertimbangkan," jelasnya.
Ada pula kekhawatiran mengenai akses terhadap layanan KRL bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti anak-anak, lansia, kaum disabilitas, atau masyarakat yang belum memiliki NIK maupun KTP elektronik.
"Bagi golongan tertentu, bisa dikecualikan dari skema ini dan dapat diberikan kebijakan tarif yang lebih sederhana. Atau bahkan gratis," ucapnya.