Kaprodi Ilkom STIKOM Bandung Kritik Gugatan Uji Materi UU Penyiaran yang Diajukan RCTI

- 28 Agustus 2020, 13:20 WIB
Ilustrasi penyiaran
Ilustrasi penyiaran /PIXABAY/Adriano Gadini

PRFMNEWS - Ketua Prodi Ilmu Komunikasi STIKOM Bandung, Nursyawal mengkritik keras permohonan pengujian Undang-Undang Penyiaran yang dilayangkan oleh dua lembaga penyiaran nasional, RCTI dan iNews TV.

Menurut Nursyawal, alasan-alasan yang dikemukakan dalam permohonan pengujian itu jelas memperlihatkan motif ekonomi yang disebut "perlakuan yang tidak sama" yang menyebabkan kerugian finansial.

Dia menambahkan, selama dua dekade ke belakang, grup media yang menjadi afiliasi kedua lembaga penyiaran itu, menguasai pangsa pasar iklan bernilai puluhan triliun rupiah pertahun.

Baca Juga: Pemprov Jabar Masih Tunggu Juklak dan Juknis Pemberian Pulsa Rp200 Ribu Bagi ASN

Namun, dengan adanya raksasa bisnis over the top seperti Google, pangsa pasar iklan itu mulai tergerus. Meski sampai saat ini belum ada data pasti, karena penghasilan Google dari pasar iklan Indonesia tidak dapat teridentifikasi akibat tidak ada kewajiban pajak di Indonesia.

Dampak persaingan itu, lembaga penyiaran konvensional mulai kekurangan laba dan akibatnya mulai mengurangi pembiayaan, misalnya dengan mengurangi produksi, atau juga PHK.

Nursyawal mengatakan, sebaiknya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian hukum terhadap pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Penyiaran tersebut.

"Mahkamah Konstitusi sebaiknya menolak pengujian hukum tersebut, karena secara prinsip, Undang-Undang Penyiaran tidak mengatur soal persaingan usaha, melainkan mengatur pada pihak yang mendapat hak istimewa dalam memakai spektrum frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam tidak tak terbatas,” kata Nursyawal dalam keterangan tertulis kepada PRFMNews.id, Jumat 28 Agustus 2020.

Baca Juga: Jika Uji UU Penyiaran Dikabulkan, Masyarakat Terancam Tak Bisa Live di Medsos

“Maka itu, lembaga penyiaran yang memegang izin siaran diberi banyak tugas dan kewajiban oleh negara karena mendapat hak istimewa dalam memakai frekuensi yang terbatas. Hak itu diimbangi dengan kewajiban publik," tambah Nursyawal, yang pernah menjadi komisoner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat itu.

Menurutnya, internet sampai saat ini belum diidentifikasi sebagai sumber daya alam yang tidak tak terbatas, sehingga tidak diatur pemanfaatannya oleh negara.

Jika ingin melindungi industri dalam negeri sebaiknya diatur melalui Undang-Undang lain, seperti perpajakan, telekomunikasi, atau persaingan usaha.

Di sisi lain, Nursyawal mengatakan, sudah saatnya lembaga penyiaran mengevaluasi diri untuk sanggup bersaing dengan isi media digital (over the top).

Baca Juga: 600 Ribu Pekerja di Jabar Dapat Bantuan Subsidi Gaji Tahap Awal

Misalnya dengan mempertanyakan, mengapa saat ini makin banyak yang menonton ragam tayangan video melalui aplikasi di smartphone atau aplikasi menonton video lain yang bahkan berbayar. Sementara lembaga penyiaran konvensional itu bisa ditonton dengan gratis.

“Dengan mengidentifikasi kualitas yang dimiliki media digital, lembaga penyiaran dapat bersaing,” katanya.***

Editor: Rifki Abdul Fahmi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x