“Waktu itu diprotes dianggap tidak mengerti etika birokrasi, ke sini-sini begitu sebutan akang laku, kakek-kakek mau nyalon (jadi pejabat) maunya disebut akang,” tuturnya.
Lanjut dijelaskan oleh Dedi Mulyadi, awalnya Sunda yang berpatokan pada Pajajaran tidak mengenal istilah undak usuk basa atau tata krama dalam berucap sesuai kepada siapa lawan bicara kita.
“Stratifikasi di Sunda itu saamparan, sajajaran, tidak ada tingkatan manusia semua sama. Orang Sunda itu hidup dalam kesetaraan,” terangnya.
Seiring berjalan waktu, lanjutnya, masuklah era Sunda Priangan yang mendapat pengaruh stratifikasi manusia seperti menak atau anak ningrat.
Baca Juga: Bupati Bandung Sebut Ridwan Kamil Setujui Pembangunan 2 Infrastruktur Pengurai Macet di 2023
Hingga muncul sebutan atau bahasa untuk diucapkan kepada yang lebih tua, lebih muda, sebaya, kepada pimpinan dan sebagainya yang dikenal sebagai undak usuk basa tadi.
Kendati demikian, Kang Dedi tetap mengingatkan, sebagai seorang insan pengajar harus peka saat melontarkan kritik terlebih di media sosial, jangan sampai menimbulkan multitafsir pembacanya.
“Mengkritik boleh, tapi pilih diksi bahasa yang tidak menimbulkan kontroversi dan ketersinggungan,” pungkas Dedi Mulyadi.***