Bukan NIK, Ini Solusi Penetapan Tarif KRL Jabodetabek Usulan Pakar ITB untuk Tekan Subsidi Pemerintah

8 September 2024, 21:33 WIB
Kereta api KRL /redigest.web.id

PRFMNEWS – Baru-baru ini wacana kebijakan pemerintah menetapkan tarif tiket Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) membuat masyarakat khususnya mereka para pelanggan transportasi umum massal tersebut menjadi resah.

Pasalnya, mereka khawatir penetapan tarif tiket KRL Jabodetabek berbasis NIK jika jadi diterapkan pemerintah bisa memicu harga layanan salah satu angkutan umum massal yang dianggap murah, cepat, nyaman, dan mudah terintegrasi dengan moda transportasi lainnya ini ikut naik.

Guru Besar dari Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota; Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (SAPPK ITB), Prof. Dr. Miming Miharja, S.T., M.Sc.Eng., menilai kebijakan penetapan tarif tiket KRL Jabodetabek berbasis NIK bukan solusi tepat untuk membuat subsidi layanan tersebut lebih tepat sasaran.

Baca Juga: Diprotes Anker, Pakar ITB Ungkap Risiko Terburuk Jika Tiket KRL Berbasis NIK Diterapkan Pemerintah

Pakar Transportasi dari ITB itu pun menyampaikan beberapa solusi alternatif yang bisa menjadi salah satu bahan pertimbangan pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk menetapkan tarif tiket KRL Jabodetabek agar sesuai tujuan yang diharapkan.

Miming menilai pemerintah membuka opsi kebijakan penetapan tarif tiket KRL Jabodetabek berbasis NIK bertujuan mengurangi beban subsidi dalam sektor transportasi umum massal, terutama layanan KRL yang anggarannya terus meningkat setiap tahun.

"Dengan meningkatnya beban subsidi, maka pemerintah perlu mengambil langkah untuk mengendalikan pengeluaran ini," ujar dia dalam keterangan tertulis di laman resmi ITB, dikutip Minggu 8 September 2024.

Baca Juga: KAI Beri Diskon Tiket Kereta Api di Bandung Great Sale, Bisa Dipesan Mulai 7 September 2024, Ini Rutenya

Penggunaan NIK dalam sistem tarif KRL, terang Miming, awalnya bertujuan mengklasifikasikan penumpang berdasarkan kemampuan ekonomi.

Penumpang dengan ekonomi menengah ke atas akan dikenakan tarif lebih mahal, sedangkan penumpang berekonomi lebih rendah bakal dapat subsidi lebih besar sehingga bisa mendapatkan tarif lebih murah.

“Secara konsep, kebijakan tersebut dapat dianggap adil. Sebab masyarakat yang dinilai mampu bisa membayar lebih, sementara yang kurang mampu bisa mendapatkan bantuan,” tuturnya.

Maka dari itu, Miming menyampaikan solusi alternatif yang dianggapnya lebih adil, aman, dan tepat sasaran dalam menentukan tarif tiket KRL.

Baca Juga: Rekomendasi 5 Cafe Klasik di Kota Bandung yang Punya Beragam Sudut Menarik untuk Berfoto

Dia mengungkapkan bahwa memberikan voucher subsidi kepada penumpang KRL yang memerlukan bisa menjadi solusi alternatif. Data NIK tetap dapat digunakan untuk memilah kelompok mana yang layak mendapatkan voucher subsidi ini.

Sehingga, lanjutnya, masyarakat teridentifikasi berpenghasilan rendah bisa diberi voucher yang dapat digunakan untuk membeli tiket KRL dengan harga lebih murah. Sementara penumpang dengan penghasilan lebih tinggi tidak mendapat voucher.

“Skema ini tidak hanya lebih tertib, tetapi juga mengurangi potensi kerusuhan di lapangan karena distribusi subsidi dilakukan di luar sistem operasional KRL," bebernya.

Baca Juga: 3 Tempat Belajar Nyaman dan Gratis di Bandung, Fasilitasnya Paling Lengkap

Selain itu, Miming memiliki solusi alternatif lain agar tarif tiket KRL bisa lebih adil tanpa perlu mengklasifikasikan latar belakang ekonomi berbasis NIK.

Sebab menurutnya bukan membedakan tarif dalam satu sistem layanan berdasarkan NIK yang ditekankan, melainkan melalui diversifikasi jenis layanan transportasi. Misalnya dengan menghadirkan kelas bisnis dan ekonomi seperti yang telah diterapkan di beberapa jenis transportasi umum lainnya.

"Sehingga dengan cara ini, penumpang dapat memilih layanan yang sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka," ungkapnya.

Miming mengimbau agar kebijakan tiket KRL dengan sistem NIK ini dikaji lebih dalam sebelum diterapkan, agar penerapannya dapat berjalan lancar, tepat sasaran, efisien, dan tidak menimbulkan masalah sosial di kemudian hari.***

Editor: Indra Kurniawan

Tags

Terkini

Trending