Diprotes Anker, Pakar ITB Ungkap Risiko Terburuk Jika Tiket KRL Berbasis NIK Diterapkan Pemerintah

8 September 2024, 21:16 WIB
Kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek tiba di Stasiun Manggarai, Jakarta, Rabu (10/7/2024). PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengajukan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp1,8 triliun pada tahun anggaran 2025 untuk menghindari terjadinya kelebihan muatan serta mendukung pengadaan angkutan penumpang KRL Jabodetabek, termasuk mendatangkan 11 rangkaian kereta baru dari luar negeri. /ANTARA/ERLANGGA BREGAS PRAKOSO/ANTARA FOTO

PRFMNEWS – Wacana kebijakan pemerintah menetapkan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) mendapat beragam tanggapan masyarakat khususnya mereka para pelanggan transportasi umum massal tersebut atau dikenal dengan julukan “anker” atau anak kereta.

Anker dibuat resah dengan wacana tarif tiket KRL Jabodetabek berbasis NIK karena khawatir jika kebijakan tersebut jadi diterapkan pemerintah, bisa saja harga layanan salah satu angkutan massal yang dianggap murah, cepat, nyaman, dan mudah terintegrasi dengan moda transportasi lainnya ini ikut menjadi naik.

Guru Besar dari Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota; Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (SAPPK ITB), Prof. Dr. Miming Miharja, S.T., M.Sc.Eng., turut menanggapi wacana penetapan tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK yang belakangan jadi topik bahasan anker di media sosial.

Baca Juga: Serbu Diskon 80 Persen dan Gratisan Saat Bandung Great Sale 2024, Ada Tempat Wisata-Transportasi Umum

Pakar Transportasi dari ITB itu pun menyampaikan sejumlah potensi risiko yang akan muncul di tengah masyarakat apabila kebijakan penetapan tarif tiket KRL Jabodetabek berbasis NIK ini betul-betul jadi diberlakukan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) atas keputusan pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Miming menilai kebijakan penetapan tarif tiket KRL Jabodetabek berbasis NIK bertujuan mengurangi beban subsidi pemerintah dalam sektor transportasi umum massal, terutama layanan KRL yang anggarannya terus meningkat setiap tahun.

"Dengan meningkatnya beban subsidi, maka pemerintah perlu mengambil langkah untuk mengendalikan pengeluaran ini," ujarnya dalam keterangan tertulis di laman resmi ITB, dikutip Minggu 8 September 2024.

Baca Juga: Rekomendasi 5 Cafe Klasik di Kota Bandung yang Punya Beragam Sudut Menarik untuk Berfoto

Penggunaan NIK dalam sistem tarif KRL, terang Miming, awalnya bertujuan mengklasifikasikan penumpang berdasarkan kemampuan ekonomi. Penumpang dengan ekonomi menengah ke atas akan dikenakan tarif lebih mahal, sedangkan penumpang berekonomi lebih rendah bakal dapat subsidi lebih besar sehingga bisa mendapatkan tarif lebih murah.

“Secara konsep, kebijakan tersebut dapat dianggap adil. Sebab masyarakat yang dinilai mampu bisa membayar lebih, sementara yang kurang mampu bisa mendapatkan bantuan,” tuturnya.

Untuk itu, Miming menyampaikan bahwa pada tataran implementasi, kebijakan tersebut bisa menimbulkan sejumlah risiko yang menjadi tantangan baru bagi pemerintah. Salah satu masalah utama yang bisa muncul jika kebijakan itu jadi diterapkan, yakni validitas dari NIK itu sendiri.

Baca Juga: Banyak Picu Kecelakaan, 25 Titik Pintu Perlintasan Liar Kereta Api Ditutup KAI Bandung Selama 8 Bulan

"Sebagaimana diketahui, data kependudukan di Indonesia masih sering kali bermasalah. Apabila terjadi kesalahan dan klasifikasi, penumpang yang seharusnya mendapatkan tarif lebih murah malah dapat dikenakan tarif yang tinggi," katanya.

Tak hanya itu, Miming juga menyebutkan adanya perbedaan tarif untuk layanan transportasi yang sama, berisiko memunculkan konflik di lapangan. Utamanya, ketika ada kesalahan dalam pembacaan data atau ketidakcocokan informasi.

Misalnya, ketika di lapangan, para penumpang tengah mengantri untuk masuk KRL, lalu terjadi kesalahan dalam pembacaan data. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan tarif yang dibebankan tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka.

Baca Juga: Rekomendasi 5 Ramen Murah dan Enak Bercita Rasa Otentik di Bandung, Harga Menu Mulai Rp7 Ribu

"Hal ini berpotensi menimbulkan protes dan bahkan kerusuhan di stasiun. Dalam situasi seperti ini, potensi kekacauan massal sangat tinggi, dan ini tentunya menjadi risiko besar yang harus dipertimbangkan," jelasnya.

Ada pula kekhawatiran mengenai akses terhadap layanan KRL bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti anak-anak, lansia, kaum disabilitas, atau masyarakat yang belum memiliki NIK maupun KTP elektronik.

"Bagi golongan tertentu, bisa dikecualikan dari skema ini dan dapat diberikan kebijakan tarif yang lebih sederhana. Atau bahkan gratis," ucapnya.

Sehingga, lanjut Miming, kebijakan tersebut akan lebih tepat apabila berfokus pada penumpang dengan usia produktif yang memiliki mobilitas tinggi dan dengan kemampuan ekonomi yang beragam.***

Editor: Indra Kurniawan

Tags

Terkini

Trending