Mengenal Toxic Online Disinhibition Effect, Sang Pemicu Cyberbullying

Penulis: TIM PRFM
Editor: Indra Kurniawan
Ilustrasi cyberbullying
Ilustrasi cyberbullying /Foto/Pexels-Keira Burton

PRFMNEWS - Mengalami depresi atau bahkan pemikiran untuk bunuh diri adalah dampak terburuk yang kerap dialami oleh para korban cyberbullying di era teknologi sekarang ini. Tanpa pandang bulu, siapa pun dapat menjadi sasaran, baik dari kalangan masyarakat biasa maupun figur publik. Fenomena cyberbullying seringkali berujung tragis bagi korban, dan masalah ini terjadi di berbagai negara.

Secara umum, korban cyberbullying mengalami penderitaan yang sama dengan korban bullying di dunia nyata, mulai dari depresi, rendahnya harga diri, bahkan hingga pemikiran untuk bunuh diri (Bussey, 2014; Santika & Krisnaya, 2022).

Kasus tragis korban cyberbullying yang memutuskan untuk mengakhiri hidup banyak terdengar dari selebriti di Korea Selatan. Di Indonesia sendiri, kasus bunuh diri terjadi pada seorang pria dengan inisial VM di daerah Ciledug pada 13 Maret 2022 dan menggemparkan media sosial Twitter karena korban mengalami perundungan melalui sebuah thread di Twitter (Iqbal, 2022).

Korban cyberbullying juga dialami oleh seorang guru les, yang juga seorang influencer TikTok, yang dikabarkan meninggal dunia karena bunuh diri pada 6 Agustus 2022 di daerah Subang karena diduga menerima banjir komentar kebencian di media sosialnya sebelum meninggal (Fundrika, 2022).

Microsoft pernah mengadakan riset ketidaksopanan pengguna internet dan Indonesia berada di urutan ke 29 dari 32 negara (Mailoa, 2023). Anonimitas dalam dunia online memberi keberanian kepada pelaku untuk melakukan perundungan verbal, karena identitas aslinya tidak ditampilkan.

Cyberbullying menjadi fenomena di media sosial yang begitu kejam karena dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Selain itu, identitas para pelaku juga tidak mudah diketahui apabila menggunakan identitas lain atau akun palsu (pseudonim).

Media Sosial Sebagai Media Penularan Emosi

Penggunaan media sosial yang meluas pada era digital saat ini telah membawa dampak yang signifikan terhadap dinamika interaksi sosial di masyarakat. Salah satu disiplin ilmu yang terpengaruh oleh pergeseran budaya dari konvensional ke digital adalah komunikasi.

Media digital telah menggantikan peran penting dari kehadiran fisik dalam interaksi sosial, dengan pengguna hanya menatap layar sebagai pengganti kontak tatap muka. Penelitian dilakukan Mao et al (2023) terkait pengguna media sosial aktif yang menunjukkan bahwa pengguna mengalami peningkatan kepuasan hubungan interpersonal, tetapi disisi lain mengalami konsekuensi psikologis terkait rasa ketakutan untuk melewatkan sesuatu (fear of missing out/FoMO) dan kesepian.

Merujuk pada laporan “Digital 2024: Indonesia”, jumlah pengguna internet di Indonesia pada awal tahun 2024 mencapai 185,3 juta, mengalami peningkatan sebesar 0,8% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Kemp, 2024).

Indonesia memiliki 139 juta identitas pengguna media sosial aktif yang setara dengan 49,9% dari total populasi dengan mayoritas pengguna berusia 18 tahun ke atas.

Dalam laporan wearesocial.com (2024), penelitian terbaru dari GlobalWebIndex menunjukkan data bahwa alasan utama yang mendominasi penggunaan media sosial di Indonesia yaitu untuk mengisi waktu luang.

Lindgren (2017) menjelaskan bahwa kita hidup dalam masyarakat digital yang artinya berada pada era dimana kehidupan, hubungan, budaya, dan sosial kita didigitalkan dan sangat dipengaruhi oleh digital. Identitas individu telah bertransformasi menjadi digital dan dipresentasikan melalui media sosial untuk menunjukkan citra diri yang diinginkan.

Namun, kehidupan yang ditampilkan di media sosial dapat memicu perbandingan yang tidak sehat dengan realitas hidup seseorang.

Selain itu, pandangan Nicholas Carr dalam bukunya “The Shallows” tentang dampak media sosial, menyebutkan bahwa penggunaan media sosial dapat mengakibatkan penurunan perhatian, ketidakmampuan untuk merasakan emosi yang dalam, dan kesulitan mengalami pengalaman hidup secara langsung (Lindgren, 2017).

Tetapi Lindgren (2017) membantah pandangan tersebut karena adanya intensitas afektif sebagai pendorong utama dalam sosialisasi digital, dapat menimbulkan gesekan antara orang dan teknologi yang menimbulkan emosi dengan intensitas bervariasi serta menghasilkan bahasa emosional baru, manifestasi emosi baru, dan sebagainya.

Fang et al (2018) menemukan bahwa media sosial dapat menjadi media penularan emosi, terutama kemarahan, karena pengaruh emosi yang tinggi dapat memperkuat jaringan sosial dan menyebarkan informasi secara cepat.

Rasa marah ini terkadang disebarluaskan oleh individu yang tidak dikenal secara pribadi yang membentuk perilaku kolektif di dunia digital dan menciptakan opini publik yang bias. Masalah yang sering muncul karena dampak dari penggunaan media sosial yaitu maraknya tindakan penindasan secara online atau dikenal sebagai perilaku cyberbullying (Santika & Krisnayana, 2022).

Sebuah konsep yang menjelaskan terkait keadaan seorang individu yang dapat berperilaku tidak terkontrol dan berbeda pada saat di dunia maya dan dunia nyata disebut online disinhibition effect.

Karima & Adinia (2019) mengutip penjelasan John Suller yang menyatakan bahwa disinhibition dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk mengendalikan perilaku impulsif, pikiran, atau perasaan dan manifestasi online selama orang berkomunikasi dengan cara yang tidak mereka lakukan saat offline.

Terlebih lagi, Nugraha et al (2023) menjelaskan bahwa internet memberikan kemudahan akses kepada berbagai potensi negatif, seperti kecanduan pornografi, penipuan, penculikan, cyberbullying, dan lain sebagainya.

Toxic Online Disinhibition Effect Pemicu Tindakan Cyberbullying

Toxic online disinhibition merupakan fenomena dimana seseorang menunjukkan perilaku agresif, kebencian, menunjukkan kemarahan, bahkan memberi ancaman di dunia maya (Averina, 2021).

Penelitian Karima & Adinia (2019) mengidentifikasi tiga aspek yang dapat mempengaruhi fenomena ini, yaitu aspek interaksi dalam lingkungan internet (internet environment aspect), aspek psikologis (psychologist aspect), dan aspek dari luar (external aspect). Selain itu, terdapat juga konsep-konsep lain terkait dengan perilaku yang terkait erat dan dapat mendorong toxic online disinhibition yaitu cyberbullying dan cyberhate.

Secara konseptual, Wachs et al (2019) menjelaskan bahwa cyberbullying dan cyberhate memiliki karakteristik yang serupa yang memiliki tujuan untuk melukai seseorang atau kelompok dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.

Perbedaannya adalah cyberbullying lebih digambarkan sebagai aktivitas yang berulang dan mengarah kepada individu, sedangkan cyberhate kadang dilakukan berulang atau dapat dilakukan sebagai satu tindakan yang didasari pada pandangan atau prasangka tentang kelompok sosial.

Singkatnya, toxic online disinhibition memoderasi tindakan dari cyberbullying dan cyberhate di media sosial (Wachs et al., 2019). Terlebih lagi adanya peluang untuk berlindung dibalik anonimitas ataupun akun samaran (pseudonim) akan mengakibatkan meningkatnya toxic online disinhibition di media sosial (Livia et al., 2023).

Dengan menggunakan konsep dari toxic online disinhibition effect, dapat diketahui bahwa teknologi dapat mempengaruhi perilaku seseorang di dunia maya dan dapat memberikan dampak yang negatif pada internet.

Penelitian dari Karima & Adinia (2019) menunjukkan dua strategi untuk mengurangi dampak dari toxic online disinhibition effect yaitu dengan pendekatan teknologi dan non-teknologi.

Pendekatan teknologi melibatkan penggunaan alat seperti microphone dan webcam dapat dimanfaatkan untuk mengurangi anonimitas dalam interaksi online, sementara pendekatan non-teknologi melibatkan edukasi etika dalam menggunakan media sosial, pengembangan kode etik, dan peningkatan kesadaran akan isu moral.

Adanya kepastian hukum juga dapat menjadi solusi penting yang digunakan untuk meminimalisir terjadinya perilaku negatif di internet.

Menurut Karima & Adinia (2019), penelitian Iulio pada tahun 2010 menunjukkan bahwa perilaku toxic online disinhibition effect bisa dipandang sebagai perilaku kriminal, dan beberapa peneliti bahkan menerapkan teori kriminologi untuk menganalisis fenomena ini.

Selain itu, Iulio juga menjelaskan bahwa hukuman yang pasti dan berat dapat memengaruhi perilaku seseorang karena membuat mereka mempertimbangkan konsekuensi sebelum melakukan tindakan kriminal.

Oleh karena itu, memberikan hukuman yang jelas dan efektif bagi pelaku kejahatan online dapat mengurangi kemungkinan mereka untuk berperilaku negatif di ranah digital.

Selain pendekatan hukuman, upaya lain untuk mengurangi toxic online disinhibition effect yaitu menyadari bahwa pentingnya menjaga pikiran agar tetap jernih dan bertanggung jawab atas kata-kata dan tindakan kita di media sosial.

Mengingat bahwa aktivitas online meninggalkan jejak digital yang bisa mempengaruhi penilaian kepribadian kita, meningkatkan kontrol diri dalam merespons isu-isu sensitif dapat membantu menghindari respon impulsif yang dapat merugikan diri sendiri atau orang lain di sekitar kita. Dengan menerapkan saran-saran ini, diharapkan dapat membantu menciptakan lingkungan online yang lebih sehat dan aman bagi semua penggunanya.***

Kontribusi Gesilva P. Samya
Mahasiswi Program Magister Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia


Artikel Pilihan

Terkini

Trending

Berita Pilgub